AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena childfree (bebas anak) atau keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak setelah menikah kini menjadi tren kontroversial yang mengundang perdebatan intens dalam perspektif hukum keluarga Islam, sebagaimana terlihat dari pemberitaan iNews.id pada 20 Juni 2025 mengenai keputusan musisi Stephanie Poetri dan suaminya Asher Novkov yang memilih childfree dengan alasan “sudah banyak manusia di Bumi ini”, mengingat hal ini bersinggungan langsung dengan konsep fundamental tujuan pernikahan dan hak reproduksi dalam syariat (hukum Islam).
https://www.inews.id/lifestyle/seleb/stephanie-poetri-dan-asher-novkov-putuskan-childfree
Childfree (bebas anak) didefinisikan sebagai kesepakatan suami-istri untuk memilih menolak memiliki anak setelah adanya hubungan seksual dalam pernikahan tersebut (Febriansyah, 2023). Perkembangan fenomena ini di Indonesia telah dipengaruhi era digital melalui media online yang mempermudah penyebaran informasi dan interaksi antarindividu dari berbagai negara (Zuhriah et al., 2023). Konteks ini menjadi penting karena menyangkut interpretasi ulama dan aktivis gender terhadap hukum Islam kontemporer, di mana keputusan childfree dapat dikategorikan dalam dua hukum: haram (terlarang) dan mubah (diperbolehkan).
Penelitian Syarafuddim dan Fauzi (2023) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pasangan memilih childfree meliputi trauma masa lalu, otonomi personal, mengejar kebahagiaan, fokus karier, pertimbangan finansial, dan preferensi lingkungan. Namun, dari perspektif hukum Islam, keputusan childfree permanen tanpa alasan yang dibenarkan syariat dianggap bertentangan dengan maqashid al-shariah (tujuan syariat), khususnya prinsip hifz al-nasl (pemeliharaan keturunan). Studi empiris menunjukkan bahwa 42% pasangan memilih childfree karena faktor ekonomi dan 21,5% karena faktor kesehatan, sedangkan 54% responden menyatakan fenomena ini dapat berdampak pada kehidupan sosial komunitas Muslim (Rizka et al., 2022).
Dalam konteks hak reproduksi perempuan, jurisprudensi Islam mengembangkan kerangka moral dan hukum yang dapat menjembatani prinsip-prinsip Islam tradisional dengan tantangan kesehatan reproduksi kontemporer (Qibtiyah et al., 2025). Formulasi jurisprudensi kesehatan reproduksi perempuan dalam Islam harus didasarkan pada nilai-nilai fundamental kemanfaatan (maslahah), keadilan, dan kebebasan yang sejalan dengan prinsip maqashid al-shariah (tujuan syariat), terutama hifz al-nafs (pemeliharaan jiwa) dan hifz al-nasl (pemeliharaan keturunan). Perspektif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan aktivis gender di Malang menunjukkan bahwa childfree dapat dikategorikan haram (terlarang) jika bertentangan dengan maqashid al-shariah, namun mubah (diperbolehkan) jika terdapat alasan yang dibenarkan syariat seperti masalah kesehatan, keterbatasan fisik, dan kondisi psikologis yang menghalangi istri memiliki anak.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa dampak negatif pernikahan childfree yang tidak berdasarkan alasan yang dibenarkan hukum Islam mencakup gangguan kesehatan reproduksi perempuan dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik serta psikologis pasangan suami istri (Syarafuddim & Fauzi, 2023). Hammond dan Hamidi (2025) dalam kajian komunitas Muslim mengenai teknologi reproduksi berbantu menunjukkan bahwa masyarakat Muslim menghadapi berbagai hambatan ketika mengakses layanan reproduksi, termasuk hambatan budaya dan agama yang mempengaruhi aspek-aspek mana dari teknologi reproduksi yang terbuka untuk diadopsi pasangan. Studi komparatif hukum reproduksi di Arab Saudi, Irak, dan Malaysia juga mengindikasikan kompleksitas interpretasi hukum Islam dalam konteks reproduksi modern.
Solusi yang dapat direkomendasikan meliputi pengembangan program strategis untuk mencegah tren childfree yang tidak berdasarkan alasan syariat, serta penyediaan edukasi kepada masyarakat agar makna childfree dapat dipahami secara tepat dan benar. Pemerintah dan semua pihak terkait perlu memberikan edukasi kepada publik sehingga dapat dipahami secara sosiologis (Zuhriah et al., 2023). Reformulasi fikih (jurisprudensi Islam) yang lebih selaras dengan kebutuhan kontemporer perempuan juga diperlukan untuk menegaskan hak-hak perempuan terhadap kesehatan reproduksi dan memastikan pengembangan kebijakan kesehatan yang inklusif berdasarkan maqashid al-shariah (tujuan syariat).
Fenomena childfree (bebas anak) dalam pernikahan memerlukan pendekatan komprehensif yang mempertimbangkan aspek hukum Islam, hak reproduksi, dan konteks sosial kontemporer. Keputusan ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip fundamental Islam yang menekankan keseimbangan antara hak individual dan kewajiban sosial, dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah) dan kemudharatan dalam setiap keputusan reproduksi pasangan Muslim modern.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Febriansyah, A. (2023). Childfree controversy in the perspective of Islamic law and human rights. El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law, 4(1), 145-162. http://dx.doi.org/10.24042/el-izdiwaj.v4i1.16644
Hammond, K., & Hamidi, N. (2025). Exploring Muslim communities’ experiences and barriers while accessing assisted reproductive technologies: A scoping review of international literature. Journal of Religion and Health, 64, 330-368. https://doi.org/10.1007/s10943-024-02056-x
Khan, M. N., Tarpey-Brown, G., & Block, K. (2025). Reproductive coercion and abuse among forcibly displaced populations worldwide: Evidence from a systematic review. Journal of Interpersonal Violence, 40(1-2), 15-41. https://doi.org/10.1177/15248380251325187
Qibtiyah, A., Andeska, W., & Salsabila, A. (2025). Islamic jurisprudence on women reproductive health (Indonesian review). Indonesian Journal of Islamic Economic Law, 2(1), 69-82.
Rizka, S. M., Yeniningsih, T. K., Mutmainnah, M., & Yuhasriati, Y. (2022). The childfree phenomenon based on Islamic law and its respond on Muslim society. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 7(2), 275-294. https://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/view/7865
Syarafuddim, S., & Fauzi, A. (2023). Childfree, millennial marriage disorientation, and Islamic family law perspectives. Communications in Humanities and Social Sciences, 3(2), 77-84. https://www.researchgate.net/publication/377124286
Zuhriah, E., Syahriana, N. A., & Ali, Z. Z. (2023). Childfree, the digital era, and Islamic law: Views of Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, and gender activists in Malang, Indonesia. Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 7(3), 245-268. https://www.researchgate.net/publication/376209806
Leave a Reply