AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Revolusi digital mengubah paradigma pembuktian dalam hukum keluarga Islam. Penetapan nasab (isbat nasab) kini menghadapi tantangan baru dengan munculnya chat digital sebagai bayyinah (alat bukti) dalam sengketa keturunan.
Era kontemporer memunculkan kompleksitas baru dalam hukum keluarga Islam. Teknologi digital menjadi bagian integral kehidupan manusia. Detik.com melaporkan pada 19 Juni 2025 tentang sengketa antara Lisa Mariana dan Ridwan Kamil. Revelino Tuwasey muncul sebagai pihak yang mengklaim sebagai ayah biologis melalui bukti chat digital. Kasus ini menunjukkan urgensi kajian mendalam tentang kedudukan alat bukti elektronik dalam isbat nasab. Fenomena ini meniscayakan reinterpretasi metodologi penetapan nasab dalam fiqh munakahat. Metodologi tradisional mengandalkan saksi dan bayyinah (alat bukti) konvensional.
Fiqh munakahat klasik menetapkan nasab (isbat nasab) dengan mengandalkan tiga pilar utama. Pilar tersebut adalah nikah yang sah, kemungkinan pertemuan suami istri, dan masa kehamilan minimum enam bulan (Hussain et al., 2024). Alat bukti elektronik seperti pesan WhatsApp, chat digital, dan komunikasi elektronik lainnya menciptakan dimensi baru dalam pembuktian. Shabana (2012) menyatakan bahwa alat bukti elektronik memiliki karakteristik unik. Karakteristik ini memerlukan evaluasi khusus dalam konteks bayyinah syar’iyyah (alat bukti menurut syariat). Chat digital menunjukkan pengakuan kehamilan, komunikasi tentang perkembangan janin, atau pernyataan pengakuan nasab. Para ulama mengategorikan chat digital tersebut sebagai iqrar (pengakuan) yang memiliki kekuatan hukum dalam syariat Islam.
Validitas alat bukti elektronik dalam isbat nasab menghadapi problematika autentikasi (pengesahan) dan manipulasi. Penelitian mutakhir menekankan bahwa chat digital rentan terhadap fabrication (pemalsuan) dan editing (penyuntingan). Kondisi ini memerlukan verifikasi teknologi forensik digital yang komprehensif (menyeluruh). Kasus sengketa nasab multipihak terjadi antara Ridwan Kamil dan Revelino Tuwasey terhadap anak Lisa Mariana. Chat digital harus dianalisis melalui pendekatan interdisipliner dalam kasus tersebut. Pendekatan ini menggabungkan kaidah fiqh dengan teknologi forensik digital (Engelcke, 2019). Prof. Dr. Mohammad Hashim Kamali dan Dr. Ayman Shabana berpendapat bahwa alat bukti elektronik dapat diterima sebagai bayyinah (alat bukti). Penerimaan ini memiliki syarat yaitu memenuhi kriteria: autentikitas (keaslian), integritas data, dan corroborating evidence (bukti pendukung) yang mendukung.
Sistem hukum lain menunjukkan variasi pendekatan terhadap alat bukti elektronik dalam penetapan identitas anak. Mahkamah Syariah di Malaysia mengakui digital evidence (alat bukti digital) sebagai supporting evidence (bukti pendukung) dalam isbat nasab. Pengakuan ini tidak berlaku sebagai bukti tunggal. Sebaliknya, beberapa negara Arab mempertahankan pendekatan konservatif. Pendekatan ini mengutamakan DNA testing (tes DNA) dibandingkan alat bukti elektronik. Shabana (2013) menganalisis bahwa integrasi alat bukti elektronik dalam isbat nasab memerlukan framework (kerangka kerja) komprehensif (menyeluruh). Framework ini menggabungkan prinsip maslahah (kemaslahatan) dengan perkembangan teknologi digital. Hal ini sejalan dengan maqasid syariah (tujuan syariat) dalam menjaga nasab atau hifz al-nasl (perlindungan keturunan). Perlindungan keturunan merupakan salah satu tujuan fundamental syariat Islam.
Optimalisasi pemanfaatan alat bukti elektronik dalam isbat nasab memerlukan pengembangan protokol standar. Protokol ini mencakup tiga hal. Pertama, establishment (penetapan) prosedur pengesahan alat bukti digital melalui kerja sama dengan ahli forensik digital. Kedua, pelatihan hakim agama dalam memahami karakteristik dan limitasi alat bukti elektronik. Ketiga, pengembangan regulasi khusus yang mengatur admissibility (dapat diterimanya) dan probative value (nilai pembuktian) dari chat digital dalam konteks isbat nasab. Implementasi teknologi blockchain memastikan immutability (kekekalan) alat bukti digital. Teknologi ini dapat menjadi solusi inovatif dalam menjaga integritas alat bukti elektronik.
Transformasi digital dalam hukum keluarga Islam memerlukan keseimbangan antara adaptasi teknologi dengan preservasi nilai-nilai fundamental syariat. Chat digital sebagai bayyinah (alat bukti) dapat menjadi instrument (instrumen) yang powerful (ampuh) dalam isbat nasab. Penggunaan chat digital harus dibarengi dengan framework (kerangka kerja) regulasi yang comprehensive (menyeluruh) dan prosedur authentication (pengesahan) yang reliable (dapat dipercaya). Hukum keluarga Islam dapat merespons tantangan zaman melalui pendekatan ini. Respons ini tidak mengkompromikan essence (esensi) dan objektif utama syariat dalam menjaga nasab dan melindungi hak-hak anak.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Engelcke, D. (2019). Establishing filiation (nasab) and the placement of destitute children into new families: What role does the state play? Journal of Law and Religion, 34(3), 408-432. https://doi.org/10.1017/jlr.2019.45
Hussain, B., Zawawi, M., & Mohd, A. (2024). Nasab (filiation) of children in assisted reproductive technology (ART) under the Sharīʿah discourse. IIUM Law Journal, 32(1), 27-64. https://doi.org/10.31436/iiumlj.v32i1.911
Shabana, A. (2012). Paternity between law and biology: The reconstruction of the Islamic law of paternity in the wake of DNA testing. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(1), 214-239. https://doi.org/10.1111/j.1467-9744.2011.01246.x
Shabana, A. (2013). Negation of paternity in Islamic law between Li’ān and DNA fingerprinting. Islamic Law and Society, 20(3), 157-201.
Leave a Reply