Pernikahan Sederhana di KUA: Analisis Sosiologi Hukum Islam

 

AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Pergeseran orientasi masyarakat Muslim Indonesia dari praktik pernikahan mewah menuju kesederhanaan mencerminkan transformasi nilai-nilai sosial yang fundamental dalam konteks modernitas dan implementasi ajaran Islam autentik. Fenomena ini tercermin dari pemberitaan Detik.com pada 17 Juni 2025 tentang pernikahan sederhana aktor Yono Bakrie dan Vini Caroline yang digelar di KUA tanpa resepsi, dengan tujuan menjadikan kesederhanaan sebagai identitas hubungan dan jati diri keluarga mereka.

https://hot.detik.com/celeb/d-7968014/pernikahan-sederhana-ala-yono-bakrie-dan-vini-caroline-di-kua

Fenomena pernikahan sederhana di Kantor Urusan Agama (KUA: lembaga pemerintah yang mengurusi administrasi keagamaan) telah menjadi diskursus (pembahasan atau wacana ilmiah) penting dalam sosiologi hukum Islam kontemporer (masa kini). Pergeseran paradigma (kerangka berpikir atau pandangan dasar) dari perayaan pernikahan yang mewah dan berbiaya tinggi menuju kesederhanaan bukan sekadar tren sosial, melainkan refleksi dari pemahaman yang lebih mendalam terhadap esensi pernikahan dalam Islam. Transformasi ini mengindikasikan adanya reorientasi nilai-nilai yang mendasari praktik pernikahan Muslim Indonesia, di mana aspek spiritual dan substansial lebih diutamakan dibandingkan kemegahan eksternal (Kharlie et al., 2021).

Secara sosiologis, praktik pernikahan sederhana di KUA merepresentasikan upaya masyarakat Muslim untuk kembali kepada prinsip-prinsip fundamental Islam yang menekankan kesederhanaan (zuhud: sikap hidup sederhana dan tidak berlebihan) dan menghindari sikap berlebih-lebihan (israf: pemborosan yang berlebihan dalam Islam). Hak et al. (2022) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pergeseran makna esensi pernikahan di Indonesia menunjukkan adanya kesadaran kolektif tentang pentingnya memprioritaskan aspek spiritual dibandingkan materialisme. Fenomena ini juga mencerminkan resistensi terhadap budaya konsumerisme yang sering kali mengalihkan fokus dari tujuan sakral pernikahan menuju pamer kemewahan sosial.

Dari perspektif hukum Islam, kesederhanaan dalam pernikahan memiliki legitimasi (pengakuan keabsahan) yang kuat berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabat. Hamid et al. (2022) menganalisis bahwa konsep pernikahan dalam sosiologi hukum Islam menekankan kemudahan (taysir: prinsip memudahkan dalam hukum Islam) dan menghindari kesulitan (haraj: kesulitan atau kesukaran yang hendak dihindari dalam syariat). Pernikahan sederhana di KUA tidak hanya memenuhi syarat-syarat formal akad nikah (perjanjian perkawinan dalam Islam), tetapi juga mencerminkan implementasi maqasid al-syariah (tujuan-tujuan hukum Islam untuk kemaslahatan umat) yang mengutamakan kemaslahatan. Institusi KUA sebagai lembaga resmi negara yang menangani pernikahan Muslim memberikan legitimasi hukum yang sempurna, sekaligus memastikan bahwa praktik kesederhanaan tidak mengurangi validitas (keabsahan atau kesahihan) akad nikah (Halimang, 2023).

Analisis sosiologis menunjukkan bahwa fenomena pernikahan sederhana memiliki implikasi multidimensional. Pertama, aspek ekonomi: pernikahan sederhana mengurangi beban finansial keluarga dan memungkinkan alokasi sumber daya untuk kebutuhan yang lebih produktif. Kedua, aspek sosial: praktik ini menantang stratifikasi sosial yang berbasis kemampuan ekonomi dalam perayaan pernikahan. Ketiga, aspek spiritual: fokus pada kesederhanaan memungkinkan pasangan dan keluarga untuk lebih menghayati makna sakral pernikahan tanpa terdistraksi oleh urusan materialistik. Keempat, aspek psikologis: pernikahan sederhana mengurangi stres dan tekanan sosial yang sering menyertai persiapan pernikahan mewah (Saleh et al., 2022).

Transformasi menuju pernikahan sederhana juga mencerminkan adaptasi Islam terhadap realitas sosial-ekonomi masyarakat kontemporer. Dalam konteks Indonesia yang menghadapi berbagai tantangan ekonomi, pernikahan sederhana menjadi solusi pragmatis yang tidak mengurangi esensi religius. Sebaliknya, praktik ini memperkuat nilai-nilai Islam yang autentik dan universal. KUA sebagai institusi penyelenggara pernikahan berperan penting dalam memfasilitasi dan melegitimasi praktik kesederhanaan ini, sekaligus memastikan bahwa semua aspek legal-formal tetap terpenuhi (Hidayatulloh, 2024).

Pergeseran menuju pernikahan sederhana juga mencerminkan maturitas spiritual masyarakat Muslim Indonesia. Kesadaran bahwa kebahagiaan pernikahan tidak terletak pada kemegahan acara, melainkan pada kualitas hubungan dan komitmen spiritual, menunjukkan pemahaman Islam yang lebih substansial. Fenomena ini berpotensi menjadi model alternatif yang dapat menginspirasi praktik pernikahan Muslim di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara dengan mayoritas Muslim yang menghadapi tantangan serupa.

Implementasi pernikahan sederhana di KUA memerlukan dukungan sistematis (terstruktur dan teratur) dari berbagai pihak. Pemerintah perlu mengoptimalkan peran KUA tidak hanya sebagai registrar (pencatat resmi) pernikahan, tetapi juga sebagai pusat edukasi tentang nilai-nilai pernikahan Islam yang autentik (asli dan murni). Masyarakat perlu mengembangkan apresiasi terhadap kesederhanaan sebagai manifestasi kearifan dan kedewasaan spiritual. Institusi pendidikan Islam perlu mengintegrasikan pemahaman tentang pernikahan sederhana dalam kurikulum, sehingga generasi muda memiliki perspektif yang benar tentang esensi pernikahan.

Fenomena pernikahan sederhana di KUA merepresentasikan sintesis (perpaduan harmonis) ideal antara modernitas dan tradisi Islam, antara efisiensi praktis dan spiritualitas mendalam. Praktik ini tidak hanya menunjukkan adaptabilitas Islam terhadap perubahan zaman, tetapi juga menegaskan relevansi nilai-nilai Islam dalam menghadapi tantangan kontemporer. Masyarakat Muslim Indonesia perlu melihat fenomena ini sebagai peluang untuk memperkuat identitas keislaman yang autentik, sekaligus membangun tradisi pernikahan yang lebih bermakna dan berkelanjutan (sustainable: dapat dipertahankan dalam jangka panjang).

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau


Daftar Pustaka:

Halimang, S. T. (2023). Sociological study of Islamic law on the impact of interfaith marriage in domestic life (Study in Tirawuta District, East Kolaka District, Indonesia). Journal of Law and Sustainable Development, 11(11), 1-16.

Hamid, A., Harahap, T. M., Siregar, R. A. S., Ritonga, S., & Amiruddin. (2022). Sociological analysis of the concept of divorce in marriage law in Indonesia. JRSC: Journal of Religious, Social and Cultural, 1(1), 42-51. https://jurnal.stain-madina.ac.id/index.php/religi/article/view/1124

Hak, N., Yusdani, Y., & Arfaizar, J. (2022). Pergeseran makna esensi pernikahan di Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan: Studi kasus sosiologi hukum keluarga. Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam dan Sosial, 16(2), 171-178. https://doi.org/10.56997/almabsut.v16i2.686

Hidayatulloh, M. H. (2024). Integrating legal protection strategies for wife and children due to rejection of marriage Isbat application. Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah dan Masyarakat, 23(1), 45-62.

Kharlie, A. T., Fathudin, F., & Triana, W. (2021). Reforming Islamic marriage bureaucracy in Indonesia: Approaches and impacts. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 59(2), 255-286. https://doi.org/10.14421/ajis.2021.592.255-286

Saleh, M., Djawas, M., & Nasution, K. (2022). Marriage guidance towards family resilience in Aceh: A study of Islamic law philosophy. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 6(2), 289-312. https://doi.org/10.22373/sjhk.v6i2.12448

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *