AKTAMEDIA.COM, BUKITTINGGI – Sejarah Indonesia penuh dengan kisah perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Salah satu perlawanan yang menjadi tonggak penting adalah Perang Kamang 1908, yang terjadi di Kamang, Agam, Sumatera Barat. Perang ini menjadi simbol kegigihan rakyat Minangkabau dalam mempertahankan harga diri, adat istiadat, dan kebebasan mereka dari penindasan kolonial Belanda. Dipimpin oleh M. Saleh Datuak Rajo Pangulu, perlawanan ini menegaskan semangat persatuan dan keberanian rakyat Minangkabau.
Latar Belakang dan Pemicu Perang
Sejak abad ke-19, Belanda secara perlahan mengokohkan kekuasaannya di Minangkabau. Setelah Perang Padri (1821–1837) yang berakhir dengan kemenangan Belanda, kekuatan adat sempat melemah. Namun, Belanda tidak berhenti; mereka terus memperluas kekuasaan melalui kebijakan pajak dan sistem tanam paksa yang memberatkan rakyat. Pajak tinggi dan kerja paksa (rodi) menjadi beban yang tidak hanya menghancurkan ekonomi rakyat, tetapi juga merusak tatanan sosial adat Minangkabau.
Menurut catatan sejarawan lokal, Prof. Rusli Amran dalam buku Sumatera Barat hingga Plakat Panjang (1981), “Perang Kamang merupakan puncak ketegangan antara rakyat Minangkabau yang ingin mempertahankan adat dan harga diri mereka dengan penguasa kolonial yang semakin sewenang-wenang.”
Belanda juga mencoba mengurangi pengaruh ninik mamak (pemimpin adat) dan ulama yang menjadi benteng moral rakyat Minangkabau. Hal inilah yang memicu amarah rakyat Kamang, yang merasa adat dan agama mereka terancam.
M. Saleh Datuak Rajo Pangulu: Pemimpin yang Disegani
M. Saleh Datuak Rajo Pangulu adalah seorang pemimpin adat yang juga memiliki kedalaman ilmu agama. Ia dikenal sebagai sosok yang adil, bijaksana, dan berani. Dalam menghadapi Belanda, ia menegaskan bahwa mempertahankan adat dan agama adalah kewajiban yang tidak boleh ditawar.
Dalam pidato beliau yang dikisahkan turun-temurun di Kamang, ia berkata:
> “Nan sabana pangulu, tak akan terima adatnyo dihina. Nan sabana urang kamang, tak akan mau hidup di bawah tapak penjajah!”
(“Seorang pangulu sejati takkan rela adatnya dihina. Orang Kamang sejati takkan mau hidup di bawah kaki penjajah!”)
Jalannya Perang dan Taktik Rakyat Kamang
Perang pecah pada awal tahun 1908. Pasukan rakyat Kamang dipimpin langsung oleh M. Saleh Datuak Rajo Pangulu, yang memadukan kepemimpinan adat dan agama untuk membangkitkan semangat juang rakyat.
Taktik gerilya menjadi andalan pasukan Kamang. Mereka memanfaatkan medan yang berbukit dan hutan yang lebat untuk melakukan serangan kilat. Rakyat Kamang menguasai jalur-jalur rahasia di hutan, yang memungkinkan mereka menyerang tiba-tiba dan segera menghilang sebelum Belanda sempat melakukan serangan balasan.
Senjata mereka sederhana—tombak, keris, dan beberapa senapan tua warisan Perang Padri. Namun, semangat mereka berkobar, seperti dikisahkan dalam naskah tradisional “Tambo Kamang”, yang menyebut:
> “Senjata boleh kalah modern, tapi hati kami takkan kalah berani!”
Kondisi Sosial dan Ekonomi Saat Itu
Selain menghadapi tekanan militer, rakyat Kamang juga hidup dalam penderitaan ekonomi. Pajak yang dipungut Belanda sangat tinggi. Mereka harus menyerahkan hasil bumi, ternak, dan bahkan ikut kerja paksa membangun infrastruktur kolonial. Hal ini memiskinkan rakyat dan menambah rasa dendam terhadap penguasa kolonial.
Rakyat Kamang hidup dalam solidaritas yang erat. Setiap rumah menjadi pos logistik bagi para pejuang. Para perempuan membantu menyediakan makanan dan merawat para pejuang yang terluka. Anak-anak bertugas menjadi pengintai untuk mengabarkan gerak-gerik Belanda.
Akhir Perlawanan dan Warisan Sejarah
Meskipun rakyat Kamang berjuang mati-matian, keunggulan senjata dan pasukan Belanda akhirnya mematahkan perlawanan ini. Banyak pejuang yang gugur di medan tempur, dan sebagian ditangkap untuk diasingkan. M. Saleh Datuak Rajo Pangulu dan para panglima rakyat menjadi simbol keberanian, meskipun mereka harus menerima kenyataan pahit di akhir perlawanan.
Namun, semangat yang mereka tanamkan tak pernah padam. Sejarawan Belanda, P. J. Veth, dalam catatannya tahun 1910, mengakui:
> “Orang-orang Kamang memiliki kebanggaan yang tak mudah ditundukkan. Mereka kalah secara fisik, tetapi tidak pernah kalah secara batin.”
Perang Kamang menjadi salah satu inspirasi penting dalam perjuangan rakyat Sumatera Barat dan Indonesia pada umumnya. Nilai-nilai persatuan, keberanian, dan harga diri yang diwariskan M. Saleh Datuak Rajo Pangulu menjadi obor yang terus menyala hingga generasi berikutnya.
Perang Kamang 1908 adalah bukti bahwa di setiap sudut Nusantara, selalu ada jiwa-jiwa pemberani yang siap mempertahankan kehormatan dan kedaulatan bangsa. Kepemimpinan M. Saleh Datuak Rajo Pangulu dan semangat rakyat Kamang adalah teladan yang abadi: bahwa bangsa yang bersatu dan menjaga adat istiadatnya, takkan pernah kehilangan jati diri.
Leave a Reply