AKTAMEDIA.COM, MEDAN – Suku Karo, salah satu etnis besar di Sumatra Utara, sering kali digeneralisasi sebagai bagian dari kelompok “Batak”. Namun, di kalangan masyarakat Karo sendiri, penyebutan mereka sebagai “Batak Karo” kerap dianggap tidak tepat, bahkan menyalahi sejarah identitas leluhur mereka. Penolakan ini bukan tanpa dasar, dan dapat ditelusuri dari kisah-kisah leluhur dan catatan sejarah adat yang masih dijaga kuat oleh masyarakat Karo.
Asal Usul Suku Karo Menurut Tradisi Lisan
Dalam buku “Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia” (1995) karya Kolonel (Purn) Sempa Sitepu, disebutkan bahwa suku Karo bukan keturunan dari Si Raja Batak, yang selama ini dijadikan figur sentral dalam silsilah Batak Toba dan kelompok sub-Batak lainnya seperti Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Angkola.
Berdasarkan cerita yang diturunkan dari leluhur yang lahir tahun 1838, asal mula orang Karo diyakini berasal dari kawasan India Selatan yang berbatasan dengan Myanmar, bukan dari wilayah Tapanuli atau sekitarnya. Dari kisah itu, muncul tokoh penting bernama Panglima Karo, seorang keturunan India yang setia kepada seorang raja yang ingin mencari lokasi baru untuk mendirikan kerajaan.
Kisah Epik Migrasi dan Pembentukan Tanah Karo
Dalam perjalanan epik tersebut, sang raja, panglima Karo, dan putri kerajaan bernama Miansari menyeberangi laut hingga ke Pulau Pinang, lalu terus berlayar ke arah selatan hingga akhirnya rombongan terdampar di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Belawan, Sumatera Utara.
Putri Miansari yang diam-diam jatuh cinta kepada Panglima Karo akhirnya menikah dengannya. Mereka terus menjelajahi wilayah Sumatera bagian utara dari Durin Tani, Gua Umang, Buluhawar, hingga akhirnya menetap di sebuah dataran tinggi yang kini dikenal sebagai Tanah Karo.
Tujuh Anak Leluhur Karo
Dari pernikahan Miansari dan Karo, lahirlah tujuh orang anak, yang menjadi asal-muasal marga dan kelompok masyarakat Karo:
1. Corah
2. Unjuk
3. Tekang
4. Girik
5. Pagit
6. Jile
7. Meherga (satu-satunya anak laki-laki dan dianggap sebagai penerus utama)
Dari Meherga inilah berkembang keturunan pria yang kemudian membentuk lima Merga Silima (lima marga utama) dalam struktur masyarakat Karo:
Karo-Karo
Ginting
Tarigan
Sembiring
Perangin-angin
Mengapa Penolakan Terhadap Istilah “Batak Karo”?
Penolakan terhadap penyematan “Batak” pada Karo didasarkan pada perbedaan sejarah asal-usul, bahasa, sistem kekerabatan, hingga adat istiadat. Suku Karo memiliki bahasa tersendiri yang berbeda dari Bahasa Batak Toba, dan sistem merga (marga) mereka juga berbeda dalam struktur dan filosofi.
Penyebutan “Batak Karo” dianggap oleh banyak tokoh adat dan budayawan Karo sebagai pengaburan identitas historis dan kultural mereka. Dalam pandangan masyarakat Karo, penyamaan itu merupakan bentuk dominasi narasi sejarah oleh kelompok lain yang tidak merepresentasikan pengalaman dan akar sejarah mereka sendiri.
Identitas Karo berdiri sendiri, dengan akar yang kuat pada tradisi, mitos leluhur, dan sejarah migrasi unik. Dengan memahami asal-usul mereka secara mendalam, kita akan menyadari bahwa menyamakan semua etnis di Sumatera Utara sebagai “Batak” adalah penyederhanaan yang tidak menghargai keragaman dan kompleksitas sejarah masing-masing kelompok.
Leave a Reply