Advertisement

Etika Komunikasi Lintas Gender Di Tempat Kerja: Tinjauan Hukum Keluarga Islam Terhadap Fenomena Viral ‘Baby Gate’

AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena viral “Baby Gate” di Singapura yang menampilkan konflik rumah tangga akibat panggilan “baby” dari rekan kerja kepada suami merepresentasikan kompleksitas etika komunikasi lintas gender di tempat kerja dalam perspektif hukum keluarga Islam. Kasus ini menghadirkan pertanyaan fundamental tentang batasan komunikasi profesional yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah terkait pergaulan antar jenis kelamin dan menjaga kehormatan institusi pernikahan.

https://wolipop.detik.com/wedding-news/d-7942991/viral-video-istri-ngamuk-suami-dipanggil-baby-oleh-rekan-kerja

Dalam konteks globalisasi dan modernisasi dunia kerja, interaksi lintas gender menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Namun, bagi masyarakat Muslim, pergaulan tersebut harus tetap mengindahkan kaidah-kaidah Islam yang mengatur hubungan sosial. Koburtay, Syed, dan Haloub (2018) dalam penelitiannya di Business Ethics Quarterly menekankan bahwa nilai-nilai agama membentuk norma sosial yang memengaruhi akses perempuan terhadap dunia kerja di negara-negara mayoritas Muslim. Kasus “Baby Gate” memperlihatkan bagaimana ketegangan ini dapat merembet ke dalam kehidupan pribadi dan merusak harmoni rumah tangga.

Menurut penelitian Udin et al. (2022) yang dipublikasikan di SAGE Open, etika kerja Islam (Islamic Work Ethics) mencakup pembentukan karakter pekerja yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (mu’amalah ma’al khaliq) dan dengan sesama makhluk (mu’amalah ma’al khalq). Dalam konteks komunikasi di tempat kerja, penggunaan panggilan sayang seperti “baby” dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip kehormatan dan batasan pergaulan yang ditetapkan syariah. Meskipun mungkin dimaksudkan sebagai bentuk keakraban profesional, panggilan tersebut dapat menimbulkan fitnah dan merusak kepercayaan dalam hubungan pernikahan.

Dari sudut pandang yang berbeda, Zia et al. (2022) dalam International Journal of Ethics and Systems menunjukkan bahwa etika kerja Islam sebenarnya dapat memoderasi perilaku menyimpang di tempat kerja dan meningkatkan performa adaptif karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan prinsip-prinsip etika Islam di lingkungan kerja dapat mencegah terjadinya komunikasi yang tidak pantas. Namun, permasalahan muncul ketika lingkungan kerja multikultural tidak memiliki kesepahaman tentang batasan-batasan etis yang berlaku dalam tradisi Islam.

Analisis mendalam terhadap kasus ini menunjukkan perlunya harmonisasi antara profesionalitas dan nilai-nilai religius. Al-Sharmani (2018) dalam Journal of Islamic Ethics menekankan pentingnya memahami konstruksi etis dalam pernikahan Islam yang menekankan konsep mawaddah wa rahmah (kasih sayang dan belas kasihan) serta konsep pasangan sebagai libas (pakaian) bagi satu sama lain. Dalam konteks ini, komunikasi yang dapat menimbulkan kecemburuan atau ketidaknyamanan pasangan harus dihindari karena bertentangan dengan tujuan pernikahan Islam untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian.

Solusi terhadap permasalahan ini memerlukan pendekatan multidimensional. Pertama, organisasi perlu mengembangkan kebijakan komunikasi yang sensitif terhadap keragaman budaya dan agama karyawan. Haneef (2015) dalam Mazahib Journal menekankan pentingnya pendekatan etis untuk mengatasi ketidakstabilan keluarga dengan memperkuat komitmen, kesetiaan pernikahan, dan empati mutual antara pasangan. Kedua, edukasi tentang etika komunikasi lintas budaya perlu diberikan kepada seluruh karyawan untuk mencegah kesalahpahaman. Ketiga, pasangan Muslim perlu membangun komunikasi yang terbuka untuk mendiskusikan batasan-batasan yang dapat diterima dalam konteks pekerjaan masing-masing.

Fenomena “Baby Gate” memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara profesionalitas dan nilai-nilai religius dalam era modern. Hukum keluarga Islam tidak melarang perempuan atau laki-laki untuk bekerja dan berinteraksi secara profesional, namun menetapkan batasan-batasan etis yang harus dijaga untuk melindungi institusi pernikahan. Diperlukan kesadaran kolektif dari semua pihak – individu, pasangan, dan organisasi – untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif namun tetap menghormati nilai-nilai spiritual dan kultural. Tanpa harmonisasi ini, potensi konflik serupa akan terus muncul dan mengancam stabilitas keluarga Muslim di era globalisasi ini.


Daftar Pustaka

Al-Sharmani, M. (2018). Marriage in Islamic interpretive tradition: Revisiting the legal and the ethical. Journal of Islamic Ethics, 2(1-2), 76-105. doi:10.1163/24685542-12340015

Haneef, S. S. S. (2015). Stabilizing Muslim marriages: Some reflections on ethical dimension of family law reform. Mazahib, 14(1), 1-15.

Koburtay, T., Syed, J., & Haloub, R. (2018). Implications of religion, culture, and legislation for gender equality at work: Qualitative insights from Jordan. Business Ethics Quarterly, 31(2), 289-320. doi:10.1017/beq.2020.18

Udin, U., Dananjoyo, R., Shaikh, M., & Linarta, D. V. (2022). Islamic work ethics, affective commitment, and employee’s performance in family business: Testing their relationships. SAGE Open, 12(2), 1-15. doi:10.1177/21582440221085263

Zia, M. Q., Naveed, M., Fasih, S. T., Aleem, M. U., & Ramish, M. S. (2022). The interactive effect of Islamic work ethics and leader-member exchange on workplace deviance behaviour and adaptive performance. International Journal of Ethics and Systems, 38(3), 412-432. doi:10.1108/IJOES-06-2021-0123

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *