AKTAMEDIA.COM, BUKITTINGGI – Dalam adat Minangkabau khusus ” Adat Salingka Nagari Nan Dipaturun – Panaikan Di Nagari Kamang Hilia ” Yang Diterbitkan oleh Kerapatan Adat Nagari Kamang Hilia Tanggal 10 Maret 2008 halaman 31 – 32.
Gelar penghulu bukan sekadar panggilan atau jabatan biasa. Ia adalah simbol kehormatan tertinggi suatu kaum—ibarat mahkota bagi seorang raja dalam sebuah kerajaan.
Mahkota itu tidak hanya melambangkan kedudukan dan kekuasaan, tetapi juga mencerminkan nilai, martabat, dan harga diri suatu keluarga besar. Maka tidak heran, gelar penghulu dijunjung tinggi dan dijaga sebaik-baiknya, sebab keruntuhan seorang penghulu bukan hanya jatuhnya seorang individu, melainkan juga tercemarnya nama seluruh kaum.
Gelar Penghulu: Antara Kehormatan dan Tanggung Jawab
Penghulu adalah pemimpin adat yang bertanggung jawab terhadap anak kemenakan (anggota kaum) dalam berbagai aspek kehidupan. Ia menjadi tempat mengadu, tempat bermusyawarah, dan sumber keteladanan dalam kehidupan sosial dan adat. Oleh sebab itu, orang yang menyandang gelar ini diharapkan memiliki kepribadian luhur, perilaku santun, serta menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan.
Namun sebagaimana mahkota yang bersinar indah, ia juga rentan ternoda. Ada tiga bentuk noda yang bisa menyebabkan “keruntuhan” seorang penghulu menurut adat Minangkabau, yaitu Runtuh, Kuma, dan Baabu. Masing-masing mencerminkan tingkatan pelanggaran, mulai dari yang paling berat hingga ke yang bersifat sosial.
1. Runtuh: Mahkota yang Tersungkur
Keruntuhan yang disebut runtuh adalah bentuk paling berat dalam penilaian adat. Ia terjadi ketika seorang penghulu melakukan pelanggaran besar terhadap norma kesusilaan dan adat istiadat, seperti:
Perzinaan: Melakukan hubungan terlarang yang mencemarkan nama baik kaum.
Kawin lari: Menikah tanpa proses adat, memalukan keluarga besar dan melecehkan nilai adat.
Takuruang di biliak urang: Kedapatan berada di ruang pribadi orang lain secara tidak pantas.
Runtuh juga dapat terjadi karena tindakan sosial yang merusak kepercayaan masyarakat, seperti:
Ingkar janji,
Tidak menghormati ikrar,
Tidak membayar utang,
Bertutur kasar,
Bermuka dua,
Menyebarkan fitnah.
Tindakan-tindakan ini membuat martabat seorang penghulu runtuh, dan menurut pepatah adat: “Payuang nan kucuik bakambangkan, marawa nan rabah batagakkan”, artinya payung yang tertutup harus dikembangkan kembali, dan bendera yang jatuh harus ditegakkan kembali. Proses ini menggambarkan upaya pemulihan martabat secara adat dan simbolik.
2. Kuma: Dosa Berat yang Menghancurkan Wibawa
Kuma adalah noda yang berasal dari tindak kriminal berat. Seorang penghulu yang melakukan perbuatan seperti:
Mencuri,
Membunuh,
Membakar rumah atau harta,
Merampok,
Meracuni orang,
Menipu orang banyak,
telah mencemari mahkotanya dengan noda yang sangat berat. Dalam penyelesaian adat, perbuatan ini memerlukan proses basasah, yakni semacam pembersihan secara hukum dan adat yang melibatkan upaya penyucian dan penebusan kesalahan.
3. Baabu: Noda Sosial yang Mengikis Wibawa
Baabu adalah bentuk keruntuhan yang muncul dari tindakan yang mempermalukan penghulu di hadapan masyarakat:
Berkelahi dengan sesama warga nagari,
Dimaki atau dicela karena perbuatan yang tidak layak,
Menjadi bahan olok-olok dan cemoohan masyarakat.
Meskipun bentuknya tidak seberat runtuh atau kuma, namun baabu tetap mencederai nama baik dan citra penghulu. Penyelesaiannya adalah dengan bagantiak, yakni mengganti kerugian martabat atau memulihkan nama baik melalui perbaikan sikap, permintaan maaf, atau tindakan sosial lainnya yang dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Pelajaran dari Adat yang Luhur
Teks adat tentang Keruntuhan Penghulu bukan hanya sekadar aturan lama yang mengatur perilaku pemimpin adat. Ia adalah cerminan nilai sosial yang masih sangat relevan: bahwa kehormatan tidak datang begitu saja, tetapi dibangun dengan perilaku, tanggung jawab, dan kejujuran. Adat Minangkabau tidak hanya memberikan kehormatan, tetapi juga menetapkan batas dan mekanisme pemulihan ketika kehormatan itu ternoda.
Penghulu bukanlah manusia sempurna, tetapi ia dituntut untuk berperilaku sebaik-baiknya karena ia membawa nama seluruh kaum. Jika mahkota itu ternoda, maka bukan hanya dirinya yang jatuh, tetapi harga diri seluruh keluarga besar ikut tercoreng.
Adat Minangkabau mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sekadar gelar. Penghulu harus menjadi teladan, bukan sekadar simbol. Ketika ia jatuh karena runtuh, kuma, atau baabu, maka ia tidak hanya meruntuhkan dirinya sendiri, tetapi juga sejarah dan kehormatan yang diwariskan turun-temurun. Namun adat juga membuka ruang untuk pemulihan. Sebab dalam budaya Minangkabau, kehormatan bisa hilang, tapi masih bisa ditegakkan kembali—asal ada niat, tanggung jawab, dan keberanian untuk berubah.
Leave a Reply