Advertisement

Samarinda: Dari Perkampungan Kuno hingga Kota Metropolitan

AKTAMEDIA.COM, SAMARINDA – Di tepian Sungai Mahakam yang tenang, berdirilah kota Samarinda—ibu kota Kalimantan Timur yang kini menjelma menjadi salah satu kota metropolitan paling dinamis di Indonesia. Namun, jauh sebelum hiruk pikuk kendaraan dan gedung pencakar langit mewarnai cakrawalanya, Samarinda hanyalah sebuah perkampungan kecil yang hidup dari aliran sungai dan semangat para pendatangnya.
Awal Mula: Tanah Rata di Tepian Sungai
Asal usul nama “Samarinda” konon berasal dari dua kata dalam bahasa lokal: samar yang berarti rata, dan renda yang berarti permukaan. Nama ini menggambarkan kondisi tanah di sepanjang Sungai Mahakam—rata dan cocok untuk permukiman.
Daerah ini awalnya dihuni oleh masyarakat lokal seperti suku Dayak dan Kutai. Mereka menggantungkan hidup dari sungai: menangkap ikan, berdagang, dan bertani. Wilayah ini juga menjadi bagian dari Kerajaan Kutai Kartanegara, kerajaan Hindu tertua di Nusantara, yang berperan penting dalam sejarah Kalimantan.
Kedatangan Bugis Wajo: Sebuah Awal Baru
Tahun 1668 menjadi titik balik dalam sejarah kawasan ini. Sekelompok pelaut dan pengungsi dari Bugis Wajo, Sulawesi Selatan, tiba di tepian Mahakam. Mereka datang akibat konflik internal di tanah Bugis, dan memutuskan untuk membangun kehidupan baru di Kalimantan Timur.
Para pendatang Bugis membawa semangat berdagang dan nilai-nilai Islam yang kuat. Mereka mendirikan permukiman dan menjalin hubungan harmonis dengan penduduk lokal. Seiring waktu, komunitas Bugis menjadi bagian penting dari identitas Samarinda yang multikultural. Mereka juga berperan dalam memperluas pengaruh Islam di wilayah tersebut.
Era Kolonial: Samarinda dalam Genggaman Belanda
Pada abad ke-19, kolonial Belanda mulai melirik potensi sumber daya alam Kalimantan. Samarinda pun berkembang sebagai pusat pengumpulan hasil hutan dan batu bara. Tahun 1909, Belanda menjadikan Samarinda sebagai pusat pemerintahan wilayah Mahakam Hulu.
Mereka mulai membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan kantor pemerintahan. Perlahan tapi pasti, perkampungan di tepi sungai itu mulai menunjukkan wajah kota kecil modern, walau masih kental dengan nuansa kolonial.
Merdeka dan Bangkitnya Kota
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Samarinda terus menunjukkan pertumbuhan. Pada 1960-an, kota ini diresmikan sebagai kota administratif, dan kemudian menjadi kota otonom pada tahun 1967. Seiring waktu, ekonomi Samarinda bertumpu pada tiga sektor utama: perdagangan, pertambangan, dan kehutanan.
Samarinda juga menjadi pintu gerbang menuju berbagai kawasan pedalaman Kalimantan Timur. Jalur air Mahakam tetap menjadi nadi kehidupan, menghubungkan kota dengan daerah-daerah di hulu.
Modernisasi dan Tantangan Urban
Memasuki abad ke-21, Samarinda mengalami gelombang urbanisasi. Pembangunan pesat terjadi di berbagai sektor: dari jalan tol hingga jembatan, dari pusat perbelanjaan hingga universitas. Bandara APT Pranoto menggantikan bandara lama sebagai gerbang udara baru, memperkuat konektivitas kota dengan wilayah lain di Indonesia.
Populasi kota terus bertambah, dengan masyarakat yang datang dari berbagai penjuru negeri. Samarinda menjadi kota yang hidup, penuh semangat, dan terus beradaptasi dengan zaman.
Samarinda Hari Ini dan Esok
Kini, Samarinda bukan sekadar kota besar di Kalimantan—ia menjadi pusat pemerintahan, bisnis, dan budaya. Dengan jumlah penduduk lebih dari 800 ribu jiwa dan lokasinya yang strategis dekat Ibu Kota Nusantara (IKN), peran Samarinda diprediksi akan semakin besar di masa depan.
Namun, tantangan juga datang. Permasalahan lingkungan, banjir, dan tata kota menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Samarinda dihadapkan pada tugas besar: menjadi kota modern yang tetap menjaga akar budayanya dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Dari tanah datar di pinggir Mahakam hingga pusat metropolis Kalimantan Timur, Samarinda telah menempuh perjalanan panjang. Sejarahnya adalah kisah tentang perpaduan budaya, ketahanan masyarakat, dan transformasi yang terus berjalan. Samarinda bukan hanya kota, tetapi juga simbol semangat pertemuan antara masa lalu dan masa depan Indonesia.

 

Najmi Azra
Author: Najmi Azra

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *