AKTAMEDIA.COM, BANDUNG – Sosok Gubernur Jawab Barat Dedi Mulyadi akhir-akhir ini seakan tidak berhenti dalam pemberitaan, Dedi dikenal sebagai pemimpin yang berjiwa sosial tinggi dan memiliki kepedulian besar terhadap masyarakat kecil. Karakter tangguh dan semangat pantang menyerah yang dimilikinya tidak lepas dari didikan sang ibu, Karsiti.
Perempuan sederhana itu berjuang seorang diri membesarkan sembilan anaknya setelah sang suami, seorang prajurit Siliwangi, terpaksa pensiun dini akibat diracun oleh mata-mata Belanda. Perjalanan hidup penuh kesulitan inilah yang menempa Dedi menjadi pribadi yang kuat dan berempati terhadap penderitaan masyarakat kecil.
Sebagai seorang ibu, Karsiti tidak pernah menyerah menghadapi kesulitan hidup. Sejak ditinggalkan oleh suaminya yang wafat akibat konspirasi politik masa lalu, ia mengemban tanggung jawab besar untuk menghidupi keluarganya. Dengan berbagai pekerjaan serabutan, mulai dari mencari rumput untuk dijual sebagai pakan ternak, menjadi kuli tanam di sawah orang, hingga berjualan kecil-kecilan, Karsiti memastikan anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa bersekolah.
Dari ibunya, Dedi Mulyadi belajar arti kerja keras sejak kecil. Ketika memasuki bangku SMP, ia rela menjual domba piaraannya demi membeli sepeda agar tidak perlu berjalan kaki sejauh 20 kilometer pulang pergi ke sekolah. Kondisi ekonomi keluarga yang sulit membuat mereka harus bertahan dengan makanan seadanya. Makanan istimewa bagi mereka hanyalah ikan asin, itupun hanya bisa dinikmati sebulan sekali saat awal gajian. Selebihnya, mereka hanya mengandalkan nasi dengan garam dan bawang sebagai lauk sederhana.
Setelah lulus SMA, Dedi bercita-cita mengikuti jejak sang ayah menjadi tentara. Ia mencoba peruntungan dengan mendaftar ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) dan Sekolah Calon Perwira (Secapa), tetapi gagal. Tak patah semangat, ia kemudian diterima di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sayangnya, keterbatasan biaya membuatnya terpaksa mengundurkan diri sebelum menyelesaikan pendidikan di universitas tersebut.
Keadaan memaksanya untuk mencari jalan lain. Dedi kemudian mengikuti sang kakak ke Purwakarta, yang saat itu hanya bekerja sebagai pegawai kecil dengan gaji Rp100 ribu per bulan. Hidup dalam kondisi yang jauh dari kata nyaman, ia rela tidur tanpa alas di kamar kos sempit. Namun, semangat belajarnya tak surut. Ia akhirnya memutuskan mendaftar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Purwakarta dan membiayai kuliahnya sendiri dengan berjualan gorengan serta melakukan berbagai usaha kecil lainnya.
Tak jarang, Dedi harus berjalan kaki ke kampus karena tidak memiliki ongkos. Dalam kondisi sulit, ia sering menemani teman-temannya dengan harapan diajak makan bersama. Bahkan, ada masa di mana ia bertahan hidup selama tiga hari hanya dengan minum air karena tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli makanan.
Perjalanan hidup yang penuh tantangan ini menempa Dedi Mulyadi menjadi sosok yang memiliki jiwa kepemimpinan, tangguh dalam menghadapi kesulitan, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap rakyat kecil. Didikan dan perjuangan Karsiti, sang ibu, menjadi fondasi kuat bagi karakter dan prinsip hidupnya. Dedi tumbuh dengan kesadaran bahwa tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras dan ketulusan hati dalam membantu sesama.
Kisah hidup Dedi Mulyadi menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan. Semangat pantang menyerah yang diwarisi dari ibunya menjadikannya pemimpin yang memahami derita rakyat, karena ia sendiri pernah merasakan pahitnya perjuangan hidup. Kini, Dedi terus mengabdikan diri untuk masyarakat, menjadikan pengalaman hidupnya sebagai inspirasi bagi banyak orang yang sedang berjuang mengubah nasib.
Karsiti bukan hanya seorang ibu bagi Dedi Mulyadi, tetapi juga simbol keteguhan, ketulusan, dan cinta tanpa batas. Perjuangannya mengajarkan bahwa di balik setiap sosok besar, selalu ada figur ibu yang luar biasa—yang tanpa pamrih mengorbankan segalanya demi masa depan anak-anaknya.
Leave a Reply