AKTAMEDIA.COM – Dalam percakapan tentang identitas keislaman generasi muda, Bahasa Arab acapkali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Padahal, ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan representasi budaya, agama, dan sejarah yang menjadi fondasi peradaban Islam. Bagi Generasi Z—kelompok yang tumbuh dalam era digital, terbiasa dengan media sosial, dan memiliki pandangan global—penguasaan Bahasa Arab bukan hanya soal akademik, tetapi juga menyangkut pembentukan identitas keislaman yang lebih otentik.
Bahasa Arab memiliki posisi istimewa dalam Islam. Ia adalah bahasa wahyu, bahasa Al-Qur’an, bahasa yang digunakan Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan risalahnya, dan bahasa utama dalam literatur klasik keislaman. Keistimewaan ini menempatkan Bahasa Arab tidak hanya sebagai bahasa komunikasi, tetapi juga sebagai bahasa ibadah, ilmu, dan budaya. Seorang Muslim yang memahami Bahasa Arab akan memiliki kedekatan langsung dengan teks-teks suci tanpa bergantung penuh pada terjemahan, yang terkadang tidak mampu menangkap makna esensial dari teks aslinya.
Namun kenyataannya, banyak Muslim muda hari ini yang mengalami keterputusan dengan bahasa agamanya sendiri. Di tengah derasnya arus globalisasi, Bahasa Arab kerap tersingkir oleh dominasi bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Apalagi Generasi Z lebih familiar dengan istilah-istilah teknologi dan budaya pop ketimbang kosakata dasar Bahasa Arab. Ironisnya, di saat mereka bangga mengenakan atribut Islami, pemahaman terhadap makna-makna dasar dalam ibadah seringkali minim.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah identitas keislaman generasi muda hari ini benar-benar mengakar, ataukah hanya bersifat simbolik? Jika identitas keislaman dibangun tanpa fondasi bahasa wahyu, maka yang terjadi adalah Islamisasi permukaan—yakni Islam yang bersifat kosmetik, tidak sampai ke dalam pemahaman dan perilaku. Tanpa kemampuan memahami Bahasa Arab, akses ke khazanah keilmuan Islam menjadi terbatas. Akibatnya, generasi muda lebih mudah terpengaruh oleh narasi-narasi Islam instan yang dangkal dan kerap menyesatkan.
Meskipun demikian, harapan tidak sepenuhnya hilang. Di banyak tempat, muncul komunitas-komunitas belajar Bahasa Arab yang tumbuh secara organik, terutama melalui media sosial, platform digital, dan kelas daring. Beberapa anak muda mulai menyadari bahwa Bahasa Arab bukan milik pesantren semata, tetapi merupakan warisan seluruh umat Islam. Mereka menjadikan Bahasa Arab sebagai gaya hidup dan sarana pengembangan spiritual. Di sinilah peran pendidik, dai, dan institusi keislaman menjadi sangat vital untuk memfasilitasi dan mengarahkan minat ini secara serius dan sistematis.
Upaya integrasi Bahasa Arab dalam pendidikan Islam harus dimaknai secara lebih luas: tidak sekadar sebagai pelajaran formal yang menekankan aspek gramatika, tetapi sebagai pembentuk makna dalam kehidupan beragama. Metode pembelajaran Bahasa Arab yang kontekstual, komunikatif, dan berbasis teknologi harus dikembangkan agar lebih sesuai dengan karakteristik Generasi Z yang visual, praktis, dan kritis.
Kesadaran akan pentingnya Bahasa Arab tidak boleh berhenti pada tataran simbolik dan seremonial. Ia harus menjadi bagian dari narasi besar pembentukan identitas keislaman yang utuh, mendalam, dan berakar. Jika generasi muda ingin menyelami Islam dengan benar, maka Bahasa Arab adalah kunci utamanya. Tanpa itu, Islam hanya akan menjadi kulit tanpa isi.
Oleh: Saproni Muhammad Samin
(Dosen Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Riau)
Leave a Reply