AKTAMEDIA.COM – Di tengah dinamika keagamaan umat Islam saat ini, isu moderasi beragama semakin mengemuka. Banyak pihak menyadari bahwa keberagamaan yang seimbang, adil, dan tidak ekstrem adalah kebutuhan mendesak umat di era global yang penuh polarisasi. Namun, satu pertanyaan mendasar yang sering terabaikan adalah: sejauh mana pemahaman kita terhadap teks-teks agama yang menjadi rujukan utama dalam beragama—yaitu Al-Qur’an dan Hadis—dilandasi oleh penguasaan terhadap Bahasa Arab?
Bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bahasa wahyu. Di dalamnya termuat struktur makna yang kaya, simbolik, kontekstual, dan dalam banyak hal tidak dapat dipindahkan maknanya secara sempurna ke dalam bahasa lain. Ketika umat Islam tidak lagi menjadikan Bahasa Arab sebagai kompetensi keagamaan dasar, maka sangat mungkin terjadi reduksi makna, bahkan penyimpangan tafsir yang berujung pada sikap beragama yang ekstrem, tekstualis, atau sebaliknya—serba permisif.
Misalnya, kata jihad dalam Al-Qur’an, yang dalam pemahaman orang awam sering kali langsung diidentikkan dengan kekerasan bersenjata. Padahal, dalam Bahasa Arab, kata ini berasal dari akar kata jahada yang berarti “bersungguh-sungguh”, dan memiliki spektrum makna yang luas, termasuk perjuangan melawan hawa nafsu, upaya menegakkan kebenaran, hingga aktivitas intelektual. Tanpa kemampuan memahami nuansa semantik Bahasa Arab, makna-makna luhur seperti ini dapat tergelincir menjadi pembenaran ideologi kekerasan.
Demikian pula dengan konsep kafir, wala’ dan bara’, atau bahkan istilah syari’ah. Seluruhnya membutuhkan ketelitian makna dari sisi bahasa, konteks historis, dan kedudukan dalilnya dalam maqashid al-syari‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Sering kali kita menyaksikan perdebatan tajam di ruang publik tentang istilah-istilah tersebut, tanpa disertai kecakapan bahasa yang memadai untuk membaca sumber primer Islam secara langsung.
Moderasi beragama tidak cukup hanya dengan niat baik atau semangat toleransi yang bersifat moralistik. Ia membutuhkan fondasi ilmiah, salah satunya adalah penguasaan Bahasa Arab. Dengan menguasai bahasa sumber ajaran, kita tidak hanya lebih jernih dalam memahami maksud wahyu, tetapi juga mampu menjelaskan Islam dengan bahasa yang tepat, bijak, dan proporsional kepada publik lintas kelompok.
Sayangnya, di banyak institusi pendidikan, baik umum maupun keagamaan, Bahasa Arab sering diposisikan sebagai pelajaran sekunder. Hal ini tentu kontraproduktif terhadap semangat membumikan moderasi Islam. Di sinilah urgensinya memperkuat kembali pembelajaran Bahasa Arab sebagai bagian integral dari upaya membentuk generasi Muslim yang cerdas, kritis, dan moderat.
Oleh karena itu, revitalisasi Bahasa Arab harus dimulai dari dua arah: pertama, melalui kebijakan pendidikan yang memberi porsi signifikan bagi pengajaran Bahasa Arab di sekolah dan perguruan tinggi Islam; kedua, melalui gerakan kultural yang menjadikan Bahasa Arab sebagai bagian dari literasi keagamaan umat secara luas.
Membaca Al-Qur’an dan Hadis dengan penuh pemahaman, menyelami makna dengan kejujuran ilmiah, dan menyampaikan ajaran dengan keadaban bahasa—itulah esensi dari moderasi beragama yang bersumber langsung dari kedalaman Bahasa Arab.
Leave a Reply