AKTAMEDIA.COM – Di tengah arus globalisasi dan penetrasi budaya populer yang begitu kuat, remaja Muslim Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar: krisis identitas. Mereka hidup dalam pusaran informasi yang serba cepat, di mana nilai-nilai keislaman kerap tersisih oleh gaya hidup instan, budaya konsumtif, dan tontonan visual yang membentuk persepsi mereka tentang dunia—sering kali jauh dari akar tradisi dan spiritualitas Islam.
Salah satu jalan keluar dari krisis ini adalah dengan menguatkan kembali hubungan mereka dengan sumber-sumber otentik ajaran Islam. Dan pintu masuk yang tak tergantikan untuk itu adalah Bahasa Arab. Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi merupakan medium utama wahyu, ilmu, dan peradaban Islam yang agung.
Sayangnya, penguasaan Bahasa Arab di kalangan remaja Muslim masih jauh dari harapan. Di banyak sekolah umum, pelajaran Bahasa Arab tidak mendapat porsi yang memadai. Bahkan di beberapa lembaga pendidikan Islam, pendekatannya masih terbatas pada gramatika (nahwu-sharf) tanpa koneksi makna yang hidup dan relevan dengan kehidupan sehari-hari remaja.
Padahal, Bahasa Arab bisa menjadi media pembentuk identitas yang kokoh. Ketika seorang remaja mampu membaca dan memahami Al-Qur’an dengan baik, mengakses hadis Nabi tanpa terjemahan, serta menikmati karya-karya ulama besar dalam bahasa aslinya, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dalam keberislamannya. Bahasa Arab tidak hanya memperkaya pemahaman, tetapi juga menanamkan rasa bangga sebagai bagian dari umat yang memiliki warisan peradaban besar.
Bahasa Arab juga dapat menjadi alat resistensi kultural. Di tengah banjir istilah asing yang membentuk pola pikir dan gaya hidup, remaja yang menguasai Bahasa Arab memiliki benteng untuk menyaring mana nilai yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang harus dikritisi. Mereka tidak akan mudah terseret oleh narasi media yang bias atau dangkal karena mereka memiliki kemampuan untuk kembali kepada teks asli dan menimbangnya dengan nalar yang jernih.
Tentu, usaha ini tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah atau pesantren. Perlu keterlibatan seluruh elemen: keluarga, lembaga dakwah, pemerintah, hingga media massa. Bahasa Arab perlu dihadirkan kembali dalam ruang-ruang publik, dikenalkan bukan hanya sebagai pelajaran, tapi sebagai warisan budaya, identitas spiritual, dan kebanggaan intelektual.
Jika generasi muda hari ini mampu mencintai Bahasa Korea lewat K-pop atau Bahasa Inggris lewat film dan game, maka tidak mustahil mereka bisa mencintai Bahasa Arab—asal kita sebagai pendidik, pengambil kebijakan, dan pelayan umat, mampu menyuguhkannya dengan cara yang hidup, inspiratif, dan membumi.
Maka, mari jadikan Bahasa Arab bukan hanya sebagai mata pelajaran, tetapi sebagai gerakan kebudayaan. Gerakan untuk menyelamatkan jati diri remaja Muslim Indonesia dari krisis identitas, dan menuntun mereka kembali pada akar nilai dan spiritualitas Islam yang agung.
Oleh: Saproni Muhammad Samin
Dosen Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Riau
Leave a Reply