AKTAMEDIA.COM, BATUSANGKAR – Di sebuah nagari tua di Minangkabau, ketika masyarakat mulai berkembang dan kehidupan sosial menjadi semakin kompleks, lahirlah dua tokoh besar yang menjadi pilar utama adat Minangkabau: Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang.
Keduanya adalah anak kemenakan dari garis keturunan raja yang mendapat kepercayaan untuk menata kehidupan rakyat. Namun mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam mengatur masyarakat.
Watak dan Pemikiran Datuak Katumanggungan
Datuak Katumanggungan dikenal sebagai sosok tegas, berwibawa, dan berorientasi pada aturan aristokrat. Ia memandang bahwa untuk menjaga ketertiban, masyarakat perlu dipimpin oleh kaum bangsawan yang memiliki garis keturunan jelas.
Baginya, kepemimpinan harus diwariskan secara turun-temurun agar kesinambungan terjaga. Ia percaya bahwa masyarakat akan lebih tertib bila dipimpin oleh pemuka yang berakar pada darah raja.
Pertentangan dengan Datuak Parpatih Nan Sabatang
Namun, tidak semua orang sepakat dengan pandangan tersebut. Saudaranya, Datuak Parpatih Nan Sabatang, memiliki pemikiran berbeda. Ia menganggap bahwa siapa pun bisa menjadi pemimpin asalkan ia adil, bijaksana, dan mampu mengayomi masyarakat, tanpa memandang darah bangsawan.
Kedua tokoh ini kemudian merumuskan dua sistem adat yang berbeda:
Kato Datuak Katumanggungan → melahirkan sistem Adat Koto Piliang: hierarkis, aristokrat, dan bertingkat.
Kato Datuak Parpatih Nan Sabatang → melahirkan sistem Adat Bodi Caniago: demokratis, egaliter, dan musyawarah.
Datuak Katumanggungan sebagai Lambang Koto Piliang
Dalam Adat Koto Piliang yang diwariskan oleh Datuak Katumanggungan, pemimpin ditempatkan di atas rakyat, namun dengan tugas mulia: “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, namun raja tetap di tengah sebagai penentu.”
Balai adat Koto Piliang biasanya berbentuk bertingkat atau bertingkat-tingkat, melambangkan adanya strata sosial yang diatur secara rapi.
Warisan Datuak Katumanggungan
Hingga kini, Datuak Katumanggungan dikenang sebagai tokoh besar yang menekankan keteraturan, kepemimpinan, dan kejelasan garis keturunan dalam adat. Walaupun berbeda dengan Datuak Parpatih, keduanya tidak saling meniadakan. Justru perbedaan itu membuat Minangkabau kaya dengan falsafah:
“Alam takambang jadi guru, nan bana duo pulo” Kebenaran itu bisa lebih dari satu, sebagaimana Katumanggungan dan Parpatih berdiri sejajar menjaga adat.
Cerita tentang Datuak Katumanggungan adalah kisah tentang bagaimana kepemimpinan dan keteraturan lahir dari pemikiran yang berakar pada budaya, dan hingga kini masih menjadi salah satu pondasi adat Minangkabau.
Leave a Reply