Advertisement

Kisruh Baralek Datuak di Nagari Panampuang, Kabupaten Agam: Ketegangan Antara Adat dan Kekuasaan

AKTAMEDIA.COM, BUKITTINGGI – Nagari Panampuang, sebuah nagari adat yang terletak di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, belakangan menjadi sorotan publik. Bukan karena bencana atau peristiwa politik, tetapi karena kisruh dalam pelaksanaan upacara adat batagak pangulu, atau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal sebagai baralek datuak. Ritual sakral yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan kebanggaan kaum malah berubah menjadi panggung konflik terbuka antara ninik mamak dan seorang tokoh penting yang juga menjabat sebagai Bupati Agam.

Latar Belakang Tradisi Batagak Pangulu

Batagak pangulu merupakan bagian dari sistem adat Minangkabau yang bertujuan mengangkat seorang pemimpin adat (datuak/pangulu) dalam sebuah suku. Pengangkatan ini tidak bisa dilakukan sembarangan karena ia mengandung makna kepemimpinan yang diwariskan secara turun-temurun dan disahkan secara kolektif oleh seluruh unsur adat.

Di Nagari Panampuang sendiri, terdapat lima suku utama yang membentuk struktur sosial adat: Jambak, Guci, Tanjung, Koto, dan Sikumbang. Kelima suku inilah yang mewakili struktur adat yang dikenal dengan istilah “waris nan bajawek”. Oleh karena itu, segala bentuk kegiatan adat skala besar—seperti baralek datuak—harus mendapat kesepakatan dan dukungan dari seluruh unsur ini.

Awal Mula Konflik

Konflik mulai mencuat ketika pada bulan Juli 2025, seorang tokoh adat dari Suku Tanjung—yakni Beni Warlis Dt. Tan Batuah, yang juga merupakan Bupati Agam aktif—menginisiasi pelaksanaan batagak pangulu secara tunggal mewakili sukunya. Prosesi ini dijadwalkan berlangsung pada 26 Juli 2025 di Nagari Panampuang.

Namun, inisiatif ini ditolak secara tegas oleh Ninik Mamak Nan Sapuluah, yakni sepuluh tokoh adat yang mewakili kelima suku di Panampuang. Mereka menilai bahwa acara tersebut tidak mencerminkan adat salingka nagari karena dilakukan tanpa koordinasi dengan suku lain. Penolakan ini dituangkan dalam surat resmi yang dikirimkan ke berbagai pihak, termasuk:

Gubernur Sumatera Barat

Ketua LKAAM Sumbar

Ketua DPRD Agam

Kapolres Agam

KAN Panampuang

Dan unsur terkait lainnya.

Pernyataan Ninik Mamak Nan Sapuluah

Dalam surat penolakan mereka, para ninik mamak menyebutkan bahwa:

> “Upacara adat ini telah keluar dari tatanan yang berlaku dalam adat Minangkabau, di mana pengangkatan pangulu tidak bisa dilakukan sepihak oleh satu suku tanpa musyawarah mufakat bersama unsur waris nan bajawek.”

Lebih lanjut, mereka mengkritik bahwa penggunaan wewenang jabatan politik (bupati) dalam urusan adat adalah bentuk intervensi yang membahayakan kedaulatan adat nagari.

Pelaksanaan Tetap Dilanjutkan

Meskipun mendapat tentangan luas dari para tokoh adat, Beni Warlis tetap melanjutkan prosesi baralek datuak. Pada 26 Juli 2025, upacara tersebut digelar di Panampuang dengan berbagai tamu undangan, termasuk tokoh pemerintah daerah dan masyarakat setempat.

Namun, kehadiran Bupati Agam dalam dua kapasitas—sebagai pejabat negara dan pangulu—menuai kritik pedas. Bahkan, sejumlah media lokal melaporkan ketegangan antara pihak panitia dan perangkat nagari, termasuk pengusiran Sekretaris Nagari (Seknag) Panampuang dari lokasi acara karena dianggap tidak “loyal” kepada bupati (sumbarsatu.com).

Kritik Publik dan Reaksi Tokoh Adat

Peristiwa ini menjadi buah bibir di media sosial dan media lokal. Banyak pihak menganggap acara tersebut mencoreng prinsip adat Minangkabau yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Lembaga-lembaga adat seperti LKAAM dan tokoh-tokoh masyarakat turut mempertanyakan legitimasi pelaksanaan upacara tersebut.

Beberapa pengamat adat bahkan menyebut kasus ini sebagai:

> “Preseden buruk di mana kekuasaan administratif mencampuri ruang sakral adat, dan bisa merusak tatanan sosial Minangkabau ke depan.”

Dinamika Politik dan Adat yang Saling Bertabrakan

Kisruh ini memperlihatkan betapa rentannya adat Minangkabau ketika bersinggungan dengan kekuasaan politik. Posisi ganda Beni Warlis sebagai datuak dan bupati membuat batas antara kepentingan adat dan kepentingan politik menjadi kabur.

Pihak yang menentang menganggap bahwa pelaksanaan baralek ini lebih mengedepankan pencitraan pribadi ketimbang memperkuat nilai-nilai adat. Sementara pendukungnya mengklaim bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari pelestarian budaya.

Penutup: Pelajaran dari Panampuang

Kasus di Nagari Panampuang menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Minangkabau—bahwa adat tidak boleh dipakai sebagai kendaraan politik, dan sebaliknya, politik tidak boleh menginjak ruang adat. Dalam tradisi Minang, “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang berarti tatanan sosial dan moral harus berjalan beriringan, tanpa dikendalikan kepentingan individu.

Ke depan, upaya memperkuat forum musyawarah lintas suku, mempertegas fungsi Kerapatan Adat Nagari (KAN), serta menjaga netralitas tokoh publik dalam urusan adat sangat diperlukan agar kedaulatan nagari tetap terjaga.

Referensi:

kaba12.co.id, “Batagak Pangulu Suku Tanjung Tetap Digelar Meski Ditolak Ninik Mamak”, Juli 2025.

sumbarsatu.com, “Seknag Panampuang Diusir dari Acara Resmi Bupati”, 2025.

sumbar.antaranews.com, “Pilwana Panampuang Tetap Jalan Meski Ada Gugatan Adat”, 2021.

wawasan budaya Minangkabau dan sistem adat waris nan bajawek.

Steven
Author: Steven

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *