AKTAMEDIA.COM – Di tengah arus deras globalisasi dan penetrasi budaya instan yang menggerus nilai-nilai luhur dalam berbagai aspek kehidupan, bahasa Arab sebagai bahasa ilmu, agama, dan peradaban Islam menghadapi tantangan yang tidak ringan. Bahasa Arab, yang dahulu menjadi simbol intelektualitas dan kebanggaan umat, kini kian terpinggirkan oleh dominasi bahasa-bahasa global dan budaya digital yang menuntut segalanya serba cepat, ringkas, dan praktis. Dalam konteks ini, para santri sebagai generasi pewaris ulama memikul tanggung jawab besar untuk merawat kebanggaan berbahasa Arab sebagai bagian dari jati diri keilmuan dan spiritualitas Islam.
Bahasa Arab: Identitas dan Warisan Ilmu
Bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga merupakan bahasa wahyu, bahasa Al-Qur’an dan hadits, serta bahasa utama dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Para ulama besar dalam lintasan sejarah, seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Imam al-Nawawi, hingga ulama Nusantara seperti Syekh Nawawi al-Bantani, seluruh karya mereka lahir dalam balutan bahasa Arab yang kaya makna dan bernas pemikiran. Maka, menguasai bahasa Arab berarti menyambung mata rantai keilmuan Islam dan membuka pintu menuju pemahaman agama yang mendalam dan autentik.
Namun, dalam realitas kontemporer, tidak sedikit santri yang mulai kehilangan rasa bangga terhadap bahasa Arab. Gejala ini dapat dilihat dari lemahnya minat dalam berbicara Arab fushha, ketergantungan pada terjemahan, dan dominasi bahasa asing atau lokal dalam interaksi keseharian. Hal ini diperparah dengan budaya instan yang menuntut hasil cepat, sementara pembelajaran bahasa Arab memerlukan ketekunan, kedisiplinan, dan kesabaran.
Tantangan Dunia Instan dan Budaya Permukaan
Budaya digital dan instan telah menciptakan generasi yang cenderung menghindari proses panjang. Aplikasi terjemahan, konten pendek yang dangkal, serta preferensi terhadap hal-hal yang instan menjadikan upaya mempelajari bahasa Arab sebagai sesuatu yang dianggap “berat” dan “tidak praktis.” Dalam konteks pesantren, tantangan ini menjelma dalam bentuk rendahnya motivasi belajar kaidah nahwu-sharf, kurangnya praktik muhādatsah (percakapan), dan kecenderungan menggunakan bahasa lokal atau asing yang lebih “kekinian.”
Selain itu, arus informasi yang begitu deras tanpa filter membuat nilai-nilai kesabaran dan ketekunan — yang menjadi prasyarat dalam menguasai bahasa Arab klasik — semakin terpinggirkan. Santri yang seharusnya menjadi garda depan dalam pelestarian bahasa ini malah terjebak dalam euforia budaya populer yang instan, mengabaikan kekayaan makna dan estetika bahasa Arab.
Strategi Merawat Kebanggaan Berbahasa Arab
Untuk menghadapi tantangan tersebut, perlu dilakukan revitalisasi semangat dan kebanggaan berbahasa Arab di kalangan santri melalui pendekatan yang sistematis, kontekstual, dan inspiratif. Di antaranya:
- Mengaitkan Bahasa Arab dengan Nilai Keislaman dan Spiritualitas
Para santri harus disadarkan bahwa mencintai bahasa Arab adalah bagian dari cinta terhadap Al-Qur’an dan Rasulullah ﷺ. Sabda beliau:
“Cintailah orang Arab karena tiga hal: karena aku orang Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, dan bahasa penghuni surga adalah bahasa Arab.” (HR. Thabrani) - Menciptakan Lingkungan Bahasa yang Menyenangkan
Penguatan lingkungan bahasa (bī’ah lughawiyyah) harus dilakukan secara kreatif. Dialog harian, drama berbahasa Arab, lomba pidato, dan konten media sosial santri dalam bahasa Arab bisa menjadi sarana yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus kebanggaan. - Mengenalkan Tokoh-tokoh Besar Islam dalam Bahasa Arab
Pembelajaran bahasa Arab perlu disinergikan dengan pengenalan tokoh dan karya ulama besar. Santri perlu diajak menyelami teks-teks otoritatif seperti Riyāḍ al-Ṣāliḥīn, al-Tafsīr al-Jalālayn, atau Bulūgh al-Marām agar mereka memahami betapa bahasa Arab adalah kunci warisan keilmuan Islam yang sangat luas. - Digitalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
Alih-alih menjauhi dunia digital, kita perlu menaklukkannya. Pembuatan aplikasi, kanal YouTube edukatif, atau media sosial pesantren yang memuat konten bahasa Arab interaktif dan inspiratif dapat menjadi jembatan antara tradisi dan teknologi. - Menanamkan Semangat Izzah (Kebanggaan) Berbahasa Arab
Santri harus ditanamkan nilai izzah (kebanggaan) bahwa menjadi penutur bahasa Arab — meski bukan penutur asli — adalah kemuliaan. Bahasa Arab adalah bahasa umat terbaik, dan santri adalah pewarisnya.
Penutup
Menjaga kebanggaan berbahasa Arab di tengah dunia yang serba instan adalah perjuangan nilai. Santri bukan hanya dituntut menguasai bahasa Arab sebagai alat baca kitab, tetapi juga harus memelihara semangat izzah terhadap bahasa ini sebagai bagian dari identitas intelektual, kultural, dan spiritual Islam. Jika tidak dimulai dari pesantren, lalu siapa lagi yang akan menjadi penjaga warisan bahasa langit ini?
Oleh: Saproni Muhammad Samin
Dosen Pendidikan Bahasa Arab UIR
Leave a Reply