AKTAMEDIA.COM, Pekanbaru – 5 Juli 2025 – Dalam arus sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama Haji Agus Salim selalu mengalir bersama kejernihan pemikiran, ketajaman diplomasi, dan integritas yang hampir tanpa cela. Ia dikenal sebagai “The Grand Old Man of the Revolution”, seorang ulama cendekia, jurnalis tajam, dan menteri luar negeri yang piawai meredam konflik dengan diplomasi cerdas.
Namun siapa sebenarnya Agus Salim? Mengapa ia disebut sebagai pejuang kemerdekaan paling cemerlang tanpa gelar formal, namun penuh hormat dari kawan dan lawan?
Kelahiran dan Pendidikan Awal
Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, dari keluarga ningrat Minangkabau. Nama aslinya adalah Mashudul Haq, namun ia lebih dikenal dengan nama Agus Salim. Ayahnya adalah seorang jaksa, yang memberi Agus akses pada pendidikan Belanda sejak kecil.
Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, salah satu sekolah elit Hindia Belanda saat itu. Di sinilah ia menjadi satu dari segelintir pribumi yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Arab, bahkan Perancis. Namun ia tidak pernah menempuh pendidikan universitas secara formal.
Meski demikian, kemampuan intelektual Agus Salim membuatnya dikagumi, termasuk oleh guru-gurunya dan kalangan kolonial sendiri. Ia pernah bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi (1906–1911), dan di situlah ia menyerap semangat pan-Islamisme serta mengenal gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah.
Masuk Dunia Pergerakan dan Jurnalistik
Sekembalinya ke tanah air, Agus Salim aktif menulis dan mengembangkan pemikiran Islam progresif. Ia terlibat di dunia jurnalistik dan menerbitkan artikel-artikel tajam di surat kabar Neratja dan Hindia Baroe. Gaya tulisannya tajam, jenaka, dan penuh sindiran, yang sering membuat pihak kolonial gerah.
Tahun 1915, ia bergabung dengan organisasi Sarekat Islam (SI) dan menjadi tokoh penting dalam transformasi gerakan ini menjadi kekuatan politik Islam. Saat SI terpecah akibat pengaruh komunisme, Agus Salim berdiri tegas menolak infiltrasi ideologi kiri dalam gerakan Islam nasional.
Ia kemudian mendirikan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan memperjuangkan kemerdekaan melalui pendekatan Islam moderat dan rasional. Dalam berbagai kongres, pidatonya selalu mencuri perhatian karena logika tajam dan sikap diplomatisnya.
Peran Menjelang dan Setelah Proklamasi
Saat Jepang masuk ke Indonesia (1942), Agus Salim sempat aktif dalam organisasi bentukan Jepang seperti Putera, namun tidak terlibat dalam kolaborasi penuh. Ia tetap kritis terhadap penjajahan dalam bentuk apa pun.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Agus Salim ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal parlemen Indonesia. Ia kemudian dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri RI, menggantikan Soetan Sjahrir, pada masa revolusi fisik yang genting.
Sebagai Menteri Luar Negeri (1947–1949), Agus Salim berperan besar dalam membuka akses diplomasi internasional untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia. Ia menghadiri sidang-sidang PBB di New York, melakukan lobi ke negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan, serta menjalin hubungan erat dengan India, Pakistan, dan Mesir.
Diplomasinya berhasil membuat Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947, diikuti oleh India, Arab Saudi, dan lainnya. Saat itu, kehadiran Indonesia di panggung internasional sangat ditentukan oleh kecakapan seorang Haji Agus Salim yang berbicara dengan penuh wibawa dan otak yang tajam, meski tanpa gelar akademik barat.
Pribadi yang Sederhana dan Filosofis
Agus Salim dikenal sebagai tokoh yang hidup sangat sederhana. Ia berjalan kaki ke kantor, memakai pakaian lusuh, dan tidak pernah menuntut fasilitas negara. Rumahnya kecil, dan ia membesarkan sembilan anaknya dengan penuh perjuangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia mengajarkan kesetiaan pada nilai, bukan pada kekuasaan. Ia menolak korupsi, tidak membangun dinasti politik, dan meninggalkan jejak berupa integritas, bukan warisan materi.
Agus Salim juga sering dianggap sebagai jembatan antara kaum Islamis dan nasionalis. Ia bisa berbicara di mimbar masjid maupun podium PBB dengan gaya retoris yang sama kuatnya. Hal ini menjadikan dia dihormati oleh kelompok Islam, nasionalis, bahkan kalangan komunis sekalipun.
Wafat dan Warisan
Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di Jakarta, dalam usia 70 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tahun 1961, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Nama Agus Salim kini diabadikan dalam berbagai nama jalan, institusi pendidikan, hingga pusat kebudayaan. Namun di luar semua itu, warisan terbesarnya adalah pemikiran, keteladanan, dan prinsipnya yang tak lekang oleh zaman.
Agus Salim adalah tokoh langka yang mampu menjembatani berbagai kutub ideologi dalam satu visi: Indonesia yang merdeka, bermartabat, dan beradab. Ia membuktikan bahwa kecerdasan tidak selalu membutuhkan gelar, dan ketokohan tidak harus diiringi ambisi kekuasaan.
Di masa ketika banyak pemimpin berlomba memperkaya diri, Agus Salim hadir sebagai tokoh moral, yang menjadikan kemiskinan sebagai kehormatan, dan perjuangan sebagai panggilan jiwa. Ia bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Presiden Soekarno, “Jika aku memiliki seribu orang seperti Agus Salim, maka Indonesia pasti sudah lama merdeka.”
📚 Sumber Referensi:
- Noer, Deliar (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. LP3ES.
- Anwar, Rosihan (2004). Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia. Kompas.
- Steenbrink, Karel A. (1994). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. LP3ES.
- Feith, Herbert (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press.
- Tempo Publishing – Seri Buku Tokoh: Haji Agus Salim.
- Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Pusat Data dan Analisa Tempo.
- Arsip Pidato Agus Salim dalam dokumen Kementerian Luar Negeri RI.
Aditya Baso
Great 👍