AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU – sebagai ibu kota Provinsi Riau merupakan wajah dan cermin dari kehidupan masyarakatnya. Kota ini pada tanggal 23 juni 2025 yang lalu sudah berusia 240 tahun. Berabad sudah kota ini mengalami pertumbuhan dari sebuah kampung kecil ditepian sungai siak hingga menjadi kota metropolitan di pulau sumatera.
Sebagai sebuah kota yang menjadi tujuan investasi pekanbaru terus berbenah, namun ada masalah yang selalu sama yang terjadi berulang yaitu masalah sampah dan banjir. Setiap musim hujan, sebagian ruas jalan di Pekanbaru berubah menjadi kubangan air akibat saluran yang tersumbat. Pemicunya bukan semata hujan deras, tetapi tumpukan sampah plastik dan anorganik yang dibuang sembarangan. Kota ini seolah tidak pernah selesai dengan masalah klasik: sampah.
Sejak 6 juni 2025 Pemko Pekanbaru memutuskan kontrak kerjasama dengan pihak ke tiga untuk pengangkutan sampah dipekanbaru dan mulai melakukan pengelolaan dengan membentuk Lembaga Pengelola Sampah (LPS) di masing-masing kelurahan. Namun karena transisi yang tidak mulus prosesnya membuat masih banyak tumpukan sampah yang terlihat di Kota Pekanbaru. Proses pembentukan LPS di setiap kelurahan banyak mengalami hambatan karena hal administrative dan operasional yang belum tersedia disemua kelurahan.
Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Pekanbaru tahun 2024 mencatat, rata-rata produksi sampah harian mencapai lebih dari 800 ton. Ironisnya, sekitar 20–30% tidak tertangani secara optimal. Ini menandakan bukan hanya persoalan teknis pengangkutan, tetapi juga lemahnya manajemen dan kesadaran publik.
Dari kacamata sosiologi, masalah sampah bukanlah soal kebersihan semata. Ini adalah refleksi dari struktur sosial, pola konsumsi, budaya komunal, hingga tata kelola kebijakan. Sampah adalah cermin peradaban. Ketika masyarakat dan pemerintah gagal mengelola sampah, itu mencerminkan lemahnya kesadaran ekologis dan buruknya sistem pengawasan sosial.
Ada banyak solusi yang telah berhasil diberbagi kota, baik dalam maupun luar negeri,salah satunya adalah dengan Bank Sampah. Solusi berbasis partisipasi masyarakat seperti bank sampah ini telah terbukti efektif. Di lingkungan kampus FISIP Universitas Riau, misalnya, kami mulai mengenalkan skema tabungan sampah: mahasiswa dan pegawai dapat menabung kertas bekas dan botol plastik untuk disedekahkan atau ditukar dalam bentuk nilai ekonomi. Namun inisiatif seperti ini perlu diperluas dan didukung kebijakan yang lebih kuat dan insentif yang jelas.
Upaya ini juga membutuhkan banyak keterlibatan masyarakat, tokoh agama, dan regulasi pemerintah yang memberikan dukungan dan pengawasan dalam implementasinya.Kampanye lingkungan di Pekanbaru hanya bersifat simbolik. Aksi bersih-bersih yang difoto, seminar yang penuh jargon, tanpa menyentuh akar masalah: minimnya pendidikan lingkungan sejak dini, rendahnya keterlibatan tokoh lokal, dan tidak adanya sistem penghargaan bagi warga yang peduli.
Kesadaran akan lingkungan dimasyarakat juga harus menjadi norma yang diikuti masyarakat dan itu bisa dimulai dengan pendidikan lingkungan yang harus dimulai dari sedini mungkin, terutama mulai dari TK,SD,SMP,SMA. Kalau dari kecil terbiasa memilah dan sadar dampak lingkungan, itu akan jadi karakter mengutip teori Robert Lincoln bahwa norma sosial akan membentuk kesadaran individu atas apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. “Dalam konteks ini, memilah dan membuang sampah bukan sekadar kebiasaan, tapi norma sosial.”
Sudah saatnya Pekanbaru berpindah dari pendekatan birokratis ke pendekatan sosiokultural. Sistem pengelolaan sampah sampah berbasis komunitas seperti bank sampah memerlukan peran aktif RT/RW, sekolah, kampus, hingga masjid dan kelompok keagamaan. Edukasi harus menyentuh nilai, bukan hanya imbauan.
Tanpa kesadaran kolektif, kita hanya akan terus menyalahkan sampah tanpa melihat cermin. Sampah memang barang buangan, tapi cara kita memperlakukan sampah menunjukkan kualitas peradaban kita. Masalah sampah bukan hanya masalah pemerintah tapi juga kita. Mari ambil peran dalam bentuk apapun karena kita tidak hidup sendiri dan tidak hanya hidup untuk hari ini.
Ditulis oleh : Robby Armilus, M,Si
(Dosen Sosiologi UNRI)
Leave a Reply