Advertisement

Daya Saing Indonesia Ambruk: Apa Yang Salah Dengan Kita?

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — International Institute for Management Development (IMD) atau Institut Internasional untuk Pengembangan Manajemen merilis laporan mengejutkan yang dilaporkan Katadata.co.id pada 24 Juni 2025. Indonesia mengalami penurunan dramatis peringkat daya saing dari posisi 27 menjadi 40 pada tahun 2025. Fenomena ini mencerminkan transformasi struktural (perubahan mendasar dalam susunan sistem) yang kompleks dalam sistem ekonomi global (perekonomian dunia). Volatilitas eksternal (ketidakstabilan dari luar negeri) berupa perang tarif dan fragmentasi perdagangan internasional (perpecahan atau terpecah-belahnya perdagangan dunia) telah mengubah lanskap sosial-ekonomi Indonesia secara fundamental (mendasar).

https://katadata.co.id/infografik/68660cc678ab0/infografik-daya-saing-indonesia-melemah?utm_source=newsshowcase&utm_medium=gnews&utm_campaign=CDAqKggAIhConsUtu7BXal8bKo95Kfo3KhQICiIQqJ7FLbuwV2pfGyqPeSn6NzCmosUD&utm_content=rundown

Sistem ekonomi dunia tengah mengalami restrukturisasi (penataan ulang) pasca-pandemi COVID-19 (penyakit menular yang disebabkan virus corona). Penurunan daya saing Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dinamika global (pergerakan dunia) ini. World Bank (Bank Dunia) (2023) mencatat bahwa Indonesia menghadapi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat. Pertumbuhan akan turun menjadi rata-rata 4,9% pada periode 2024-2026, menurun dari 5,0% pada tahun 2023. Pelambatan ini terjadi seiring dengan memudarnya boom komoditas (ledakan harga barang mentah) yang selama ini menjadi andalan ekonomi Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum berhasil melakukan diversifikasi ekonomi (penganekaragaman ekonomi) yang memadai untuk mengurangi ketergantungan pada sektor primer.

IMD menilai daya saing melalui empat indikator (penunjuk) utama: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur (prasarana dasar). Efisiensi pemerintah (keefektifan kerja pemerintah) dan bisnis (usaha) mengalami penurunan paling signifikan (berarti). Kedua indikator ini turun 11 dan 12 posisi secara berturut-turut. Penurunan ini mengindikasikan disfungsi struktural (ketidakberfungsian mendasar dalam sistem) dalam sistem sosial-ekonomi Indonesia. Direktur World Competitive Center (Pusat Daya Saing Dunia) IMD Arturo Bris menyatakan bahwa kondisi eksternal (dari luar) telah menghilangkan manfaat dari kebijakan domestik (dalam negeri) negara-negara Asia Tenggara. Ketidakmampuan struktur birokrasi (tata pemerintahan) dan bisnis Indonesia untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan cepat mencerminkan rigiditas sistem (kekakuan sistem) yang menghambat transformasi sosial (perubahan masyarakat) yang diperlukan.

Industri domestik (dalam negeri) memberikan gambaran nyata tentang tantangan daya saing Indonesia. Penelitian terkini dalam Journal of Indonesian Economy and Business atau Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia menunjukkan fakta mengejutkan tentang beban pajak yang memberatkan. Studi pada industri kakao Indonesia mengungkapkan bahwa beban pajak yang tinggi secara signifikan (berarti) mengurangi daya saing industri domestik. Beban pajak substansial (besar) menyebabkan produk kakao olahan domestik tidak mampu bersaing dengan produk impor (barang dari luar negeri) (Murwendah & Desyani, 2023). Fenomena ini mencerminkan masalah sistemik dalam kebijakan fiskal Indonesia yang tidak mendukung competitiveness (daya saing) industri pengolahan dalam negeri. Ketergantungan berlebihan pada ekspor komoditas (barang mentah) dan migas (minyak dan gas) menunjukkan bahwa Indonesia masih terjebak dalam pola ekonomi ekstraktif (pengambilan sumber daya alam) yang rentan terhadap volatilitas eksternal (ketidakstabilan dari luar negeri).

Analisis perbandingan dengan negara-negara maju menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan dalam transformasi struktural (perubahan mendasar sistem) ekonomi. World Bank (2020) dalam studinya tentang sektor manufaktur (industri pengolahan) Indonesia mengungkapkan bahwa relokasi (perpindahan) sumber daya ke arah komoditas (barang mentah) dan manufacturing (industri pengolahan) berbasis sumber daya telah mengurangi daya saing Indonesia sejak dekade 2000-an. Dampaknya adalah kontraksi (penyusutan) pada share employment manufacturing (bagian tenaga kerja industri pengolahan) yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi modern. Sementara negara-negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam berhasil menarik investasi manufacturing melalui reformasi struktural, Indonesia justru mengalami deindustrialisasi prematur (penurunan industri sebelum waktunya). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia belum mampu menciptakan ecosystem (ekosistem) yang kondusif untuk pertumbuhan sektor industri bernilai tambah tinggi.

Indonesia memerlukan strategi transformasi (perubahan mendasar) yang holistik (menyeluruh) dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan struktural (tantangan mendasar dalam sistem) ini. Strategi ini harus mencakup empat langkah utama yang saling terkait. Pertama, reformasi birokrasi (pembaruan tata pemerintahan) yang mendalam harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan dan mengurangi hambatan birokratis (hambatan tata pemerintahan) bagi dunia usaha. Kedua, restrukturisasi kebijakan fiskal untuk mengurangi beban pajak industri pengolahan dan meningkatkan insentif (dorongan) investasi produktif. Ketiga, diversifikasi ekonomi (penganekaragaman ekonomi) yang lebih agresif untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas (barang mentah) dan mengembangkan sektor manufaktur berorientasi ekspor. Keempat, peningkatan produktivitas (daya guna) melalui digitalisasi (pemanfaatan teknologi digital) dan inovasi (pembaruan) teknologi. OECD Economic Surveys Indonesia atau Survei Ekonomi OECD Indonesia (2024) menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan produktivitas dan prospek (harapan) pertumbuhan jangka panjang melalui perbaikan lingkungan bisnis, peningkatan partisipasi (keikutsertaan) perempuan dalam tenaga kerja, dan penanggulangan korupsi yang lebih efektif.

Penurunan daya saing Indonesia merupakan manifestasi (perwujudan) dari keterlambatan dalam melakukan perubahan sosial struktural (perubahan mendasar dalam masyarakat) yang diperlukan untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan dinamika (pergerakan) sistem ekonomi global (perekonomian dunia). Tanpa transformasi (perubahan mendasar) yang komprehensif (menyeluruh) dalam aspek institutional (kelembagaan), fiskal, dan teknologi, Indonesia akan terus menghadapi risiko marginalisasi (terpinggirkan) dalam kompetisi global (persaingan dunia). Momentum (dorongan) krisis daya saing ini harus dimanfaatkan sebagai catalyst (katalis/pendorong) untuk melakukan reformasi struktural (pembaruan mendasar sistem) yang mendasar dan berkelanjutan. Reformasi ini bukan sekadar perbaikan incremental (bertahap) yang bersifat sementara, melainkan transformasi fundamental menuju ekonomi yang lebih produktif, inklusif, dan berkelanjutan. Tujuan akhirnya adalah mencapai visi Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045 dengan daya saing yang kuat di tingkat global.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Murwendah, M., & Desyani, W. (2023). High tax burden reduces competitiveness: A study of the cocoa industry in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business, 38(3), 211-230. https://doi.org/10.22146/jieb.v38i3.4408

OECD. (2024). OECD Economic Surveys: Indonesia 2024. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/de87555a-en

World Bank. (2020). Why the manufacturing sector still matters for growth and development in Indonesia. World Bank Group. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/26721

World Bank. (2023). Indonesia Economic Prospects: Navigating global uncertainty. World Bank Group.

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *