AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU – Seorang kawan bercerita, ia menyukai Pekanbaru karena langitnya yang biru dan lapang. “Matahari di sini terlihat utuh,” katanya, “tidak seperti di kota besar yang muram.” Sayatersenyum. Tapi dalam hati, saya ragu. Betulkah langit kita selapang itu? Atau hanya tampakdemikian karena kita enggan menengok ke bawah—ke arah tanah tempat realitas sosial itu sebenarnya berdenyut? Akhir Mei 2025, SETARA Institute merilis laporan tahunan Indeks Kota Toleran (IKT). Dari 94 kota yang diukur, Pekanbaru berada di peringkat ke-90 dengan ilai 4320, terpaut 2224 poin, jauh dari Salatiga di peringkat pertama. Ini bukan kali pertama Pekanbaru berada di lima terbawah—dan entah akan keberapa kalinya lagi, jika kabar semacam ini terus dianggap angin lalu. Selama lima tahun terakhir, Pekanbaru nyaris tak beranjak dari posisi bawah.
Berturut-turut, Pekanbaru menempati posisi 85, 86, 61, 88, dan 90. Penyebabnya, menurut SETARA, adalah minimnya regulasi perlindungan terhadap kelompok minoritas serta lemahnya respons pemerintah terhadap tindakan intoleran. Sebaliknya, kota-kota seperti Salatiga, Singkawang, dan Manado unggul karena membangun ruanginterkultural dan menerapkan kebijakan afirmatif yang nyata.Saya tidak ingin buru-buru menyalahkan siapa pun. Tapi angka-angka itu memuat lebih dari sekadar data. Ia adalah gejala sosial—dan dalam sosiologi, setiap gejala punya akar yang panjang. Kadang tersembunyi, kadang sengaja disembunyikan. Mengapa ini terjadi? Kita sedang menghadapi kegagalan sistemik dalam membangun kohesi sosial di tengah kompleksitas masyarakat urban. Pekanbaru bukan kota kecil—ia pusat migrasi, perdagangan, dan pendidikan. Tapi kita terlalu lama memelihara pandangan homogen: bahwa ada satu identitas dominan yang “asli” dan yang lain hanyalah “tamu” yang harus menyesuaikan. Ini mencerminkan solidaritas mekanik ala Durkheim—masyarakat yang menuntut keseragaman demi stabilitas. Padahal Pekanbaru sudah lama berada dalam lanskap sosial yang heterogen. Kita butuh solidaritas organik—yang menghargai keberagaman sebagai kekuatan. Kota ini sering disebut sebagai “pusat Melayu”, simpul pertemuan peradaban, jantung masyarakat Riau. Tapi di balik retorika itu, mampukah kita hidup berdampingan tanpa mencurigainama belakang orang, warna kulitnya, atau keyakinannyaRobert Putnam, seorang sosiolog Amerika, pernah menyatakan bahwa keberagaman takotomatis menciptakan harmoni. Ia memerlukan jembatan: kepercayaan, modal sosial, dan ruangbersama. Sayangnya, jembatan-jembatan itu belum sungguh dibangun di kota ini—bahkan kadangdiruntuhkan oleh politik dan warisan ketakutan kolektif.Saya percaya bahwa kota bukan sekadar tumpukan bangunan dan jalan raya.
Kota adalah kumpulan ingatan. Kota adalah ruang tempat orang membangun keluarga, mencari makan,berjumpa, dan bertengkar. Kota adalah ruang batin. Dan seperti manusia, kota pun bisa terluka. Iabisa menyimpan trauma. Ia bisa menolak mengingat masa lalunya yang keras. Bisa jadi Pekanbaru tidak benar-benar tidak toleran. Mungkin kota ini hanya belum selesai memaafkan masa lalunyasendiri—atau belum benar-benar berdamai dengan keragamannya.Kita bisa mulai dari hal sederhana. Misalnya, memperbanyak ruang terbuka yang bukansekadar untuk jogging atau swafoto, tetapi sebagai tempat perjumpaan—di mana orang bisa duduk,menyapa, dan hadir tanpa harus mempertahankan identitas sebagai tameng. Ruang publikseharusnya menjadi infrastruktur sosial, bukan arena penghakiman.Kita butuh pendidikan yang tidak menakut-nakuti anak-anak dengan cerita bahwa yang berbeda adalah ancaman. Pendidikan yang memberi ruang, bukan sekadar mengatur barisan. Kita butuh reformasi cara mendidik. Kita lupa bahwa tujuan sekolah bukan hanya menjadikan anakpandai, tetapi juga menjadikan mereka warga yang sanggup hidup berdampingan dalamperbedaan. Kita juga butuh pendidikan yang menumbuhkan empati, bukan sekadar kepatuhan. Pendidikan yang tidak membuat anak malu karena lahir dalam kelompok minoritas. Yang mengajarkan keberanian untuk menerima perbedaan sebagai bagian dari hidup bersama.Pendidikan multikultural bukan pelengkap kurikulum; ia adalah inti dari kewargaan. Dan tentu saja, kita butuh kebijakan. Tapi kebijakan tak tumbuh dari meja birokrasi tanpasuara masyarakat. Kita butuh pemimpin yang berani menjaga yang sunyi—yang tak sempatbersuara, namun diamnya adalah bentuk bertahan. Bourdieu mengingatkan, kekuasaan tidak hanya bekerja lewat paksaan, tetapi lewat simbol dan legitimasi. Kita harus waspada pada retorika harmoni yang menutupi praktik penindasan.
Saya tahu, perubahan sosial bukan urusan semalam. Tapi saya percaya, setiap kota layak diperjuangkan agar menjadi tempat tinggal yang manusiawi. Toleransi bukan utopia; ia keputusan sehari-hari—untuk menyapa, untuk mendengar, untuk tidak takut pada yang berbeda. Kota yang toleran bukan kota tanpa konflik, melainkan kota yang tak menjadikan perbedaan sebagai dasar penindasan. Saya membayangkan, suatu hari nanti, anak-anak kita bisa bersekolah tanpa takut dijauhi karena nama belakangnya. Seseorang bisa membuka usaha, membangun tempat ibadah, atau menulis opini seperti ini tanpa rasa khawatir harus meminta izin mayoritas. Dan jika hari itu tiba, saya akan duduk di tepi Sungai Siak, memandangi langit senja, dan berkata: akhirnya, langit Pekanbaru benar-benar lapang—bukan hanya di atas kepala, tapi juga di dalam jiwa warganya.
Opini Mochammad Lathif Amin, Dosen Sosiologi Universitas Riau
Leave a Reply