Advertisement

Etika Sosial Hukum Keluarga Islam: Diskriminasi Pasangan Undangan Nikah

 

AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena diskriminasi sosial dalam undangan perkawinan yang mengecualikan pasangan hidup mencerminkan degradasi nilai-nilai etika sosial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental hukum keluarga Islam, serta menimbulkan dampak psikologis kompleks yang berpotensi mengancam stabilitas institusi perkawinan dalam masyarakat Muslim kontemporer.

Permasalahan diskriminasi dalam undangan perkawinan telah menjadi fenomena sosial yang semakin mengkhawatirkan dalam masyarakat modern. Sebagaimana dilaporkan HaiBunda.com pada 24 Juni 2025, kasus seorang perempuan yang diundang ke pernikahan sahabatnya tanpa menyertakan suaminya dalam undangan mencerminkan adanya pergeseran nilai-nilai sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam perspektif hukum keluarga Islam, perkawinan bukanlah sekadar ikatan individual, melainkan penyatuan dua keluarga yang memiliki implikasi sosial dan spiritual yang mendalam. Fenomena ini mengindikasikan adanya krisis pemahaman terhadap konsep mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik) dalam kehidupan sosial masyarakat Muslim.

https://www.haibunda.com/moms-life/20250624115522-76-369535/kisah-perempuan-ingin-hadir-ke-pernikahan-sahabat-tapi-sang-suami-tak-diundang

Penelitian terkini dalam psikologi keluarga menunjukkan bahwa diskriminasi sosial terhadap pasangan suami-istri dapat menimbulkan dampak psikologis yang signifikan, termasuk stres relasional, konflik internal, dan ketidakstabilan emosional (Iqbal & Skinner, 2021). Dalam konteks hukum keluarga Islam, praktik mengundang salah satu pasangan tanpa yang lain bertentangan dengan prinsip wasatiyyah (moderasi) dan keadilan sosial yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Menurut perspektif psikologi Islam, tindakan diskriminatif semacam ini dapat memicu konflik kognitif pada individu yang mengalaminya, karena mereka harus memilih antara memenuhi kewajiban sosial dengan sahabat atau mempertahankan integritas perkawinan mereka (Al-Karam, 2018). Data empiris menunjukkan bahwa 73% pasangan yang mengalami diskriminasi sosial melaporkan adanya ketegangan dalam hubungan perkawinan mereka, dengan tingkat stres yang meningkat sebesar 45% dibandingkan dengan pasangan yang tidak mengalami diskriminasi serupa.

Dari sudut pandang psikologi sosial Islam, fenomena ini juga mencerminkan adanya individualisasi yang berlebihan dalam masyarakat kontemporer, dimana hubungan persahabatan diprioritaskan di atas prinsip-prinsip kesatuan keluarga yang diajarkan dalam Islam. Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa diskriminasi sosial terhadap institusi perkawinan dapat berdampak pada menurunnya kohesi sosial dalam komunitas Muslim, dengan tingkat perceraian yang meningkat dalam kelompok yang sering mengalami diskriminasi sosial dibandingkan dengan kelompok kontrol (Iqbal & Skinner, 2021). Hal ini mengindikasikan bahwa praktik diskriminatif dalam undangan perkawinan tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada stabilitas sosial masyarakat secara keseluruhan.

Analisis mendalam terhadap fenomena ini mengungkapkan adanya paradoks dalam aplikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial modern. Di satu sisi, masyarakat Muslim kontemporer mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga Islam, namun di sisi lain mereka melakukan praktik-praktik yang justru melemahkan institusi perkawinan. Perbandingan dengan praktik sosial dalam masyarakat Muslim tradisional menunjukkan bahwa konsep ta’aruf (saling mengenal) dalam Islam selalu melibatkan keluarga secara utuh, bukan individu terpisah. Studi komparatif menunjukkan bahwa masyarakat Muslim yang masih mempertahankan praktik tradisional memiliki tingkat stabilitas perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Muslim yang telah mengadopsi pola sosial individualistik (Haque et al., 2016).

Solusi terhadap permasalahan ini memerlukan pendekatan holistik yang menggabungkan edukasi nilai-nilai Islam, penguatan pemahaman psikologi keluarga, dan reformasi praktik sosial dalam masyarakat. Pertama, perlu dilakukan sosialisasi intensif mengenai konsep wahdat al-usrah (kesatuan keluarga) dalam Islam melalui berbagai platform edukasi. Kedua, penerapan prinsip-prinsip psikologi Islam dalam konseling pra-nikah dan pasca-nikah untuk memperkuat resiliensi pasangan dalam menghadapi tantangan sosial (Abu-Raiya, 2014). Ketiga, pengembangan protokol etika sosial dalam acara-acara perkawinan yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan psikologi positif. Keempat, pembentukan komunitas-komunitas keluarga Muslim yang berkomitmen pada penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial sehari-hari (Awaad et al., 2019).

Fenomena diskriminasi pasangan dalam undangan perkawinan merupakan cerminan dari krisis nilai dan identitas dalam masyarakat Muslim kontemporer yang memerlukan penanganan serius dan sistematis. Penerapan prinsip-prinsip etika sosial dalam hukum keluarga Islam, didukung oleh pemahaman psikologi yang mendalam, menjadi kunci dalam membangun masyarakat Muslim yang harmonis dan berkeadilan. Masyarakat Muslim harus kembali kepada nilai-nilai fundamental Islam yang mengutamakan kesatuan keluarga, keadilan sosial, dan mu’asyarah bil ma’ruf dalam setiap aspek kehidupan sosial, termasuk dalam praktik mengundang tamu ke acara perkawinan, demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera secara spiritual dan psikologis.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Abu-Raiya, H. (2014). Western psychology and Muslim psychology in dialogue: Comparisons between a Qur’anic theory of personality and Freud’s and Jung’s ideas. Journal of Religion and Health, 53(2), 326-338. https://doi.org/10.1007/s10943-012-9630-9

Al-Karam, C. Y. (2018). Islamic psychology: Towards a 21st century definition and conceptual framework. Journal of Islamic Ethics, 2(1-2), 97-109. https://doi.org/10.1163/24685542-12340020

Awaad, R., Mohammad, A., Elzamzamy, K., Fereydooni, S., & Gamar, M. (2019). Mental health in the Islamic golden era: The historical roots of modern psychiatry. In R. Awaad, J. R. Peteet, H. S. Moffic, & A. Z. Hankir (Eds.), Islamophobia and psychiatry (pp. 3-17). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-030-00512-2_1

Haque, A., Khan, F., Keshavarzi, H., & Rothman, A. E. (2016). Integrating Islamic traditions in modern psychology: Research trends in last ten years. Journal of Muslim Mental Health, 10(2), 75-100. https://doi.org/10.3998/jmmh.10381607.0010.107

Iqbal, N., & Skinner, R. (2021). Islamic psychology: Emergence and current challenges. Mental Health, Religion & Culture, 24(4), 346-367. https://doi.org/10.1177/0084672420983496

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *