AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena viral seorang suami di China yang mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk merawat istri penderita tumor otak dengan penuh kasih sayang menggugah refleksi mendalam tentang konsep mu’asyarah bil ma’ruf dalam hukum keluarga Islam. Kasus Deng Youcai yang rela mengorbankan karier demi merawat istrinya Ye Meidi dengan cara menyanyi dan menari setiap hari mencerminkan implementasi nyata dari prinsip pergaulan yang ma’ruf dalam rumah tangga Islam.
Mu’asyarah bil ma’ruf, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 19 dan Al-Baqarah ayat 228, merupakan konsep fundamental yang mewajibkan suami-istri untuk saling bergaul dengan cara yang baik dan penuh kasih sayang. Dzukroni dan An Noor (Dzukroni, A.A., & An Noor, S.M., 2024) dalam penelitiannya menegaskan bahwa mu’asyarah bil ma’ruf adalah “konsep saling ketergantungan antara suami dan istri untuk menghadirkan setiap kebaikan dalam rumah tangga ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik antara keduanya”. Konsep ini tidak sekedar mengatur aspek formal dalam pernikahan, tetapi menjangkau dimensi psikologis dan spiritual yang mendalam.
Fenomena pengorbanan suami dalam kasus viral tersebut menunjukkan manifestasi konkret dari kewajiban nafaqah dalam perspektif yang lebih holistik. Sameem et al. (Sameem, M.A., Rahmani, K.U.R., & Hilal, A.R., 2025, p. 925) dalam studi terbaru mereka menjelaskan bahwa nafaqah mencakup tidak hanya kebutuhan material seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi juga “perawatan medis” dan dukungan emosional yang dibutuhkan istri. Ketika Youcai memilih menghibur istrinya yang berada dalam kondisi vegetatif dengan cara menyanyi dan menari, ia sesungguhnya mengimplementasikan konsep nafaqah dalam dimensi perawatan kesehatan dan dukungan psikologis yang sangat dibutuhkan pasangan dalam kondisi sakit kritis.
Dalam konteks hukum keluarga Islam kontemporer, tindakan Youcai memberikan perspektif baru tentang tanggung jawab suami yang melampaui interpretasi tradisional. Nurdin et al. (Nurdin, R., et al., 2021, p. 28) dalam analisisnya tentang resiliensi keluarga selama pandemi menekankan bahwa “keamanan keluarga harus dijamin oleh semua anggota keluarga” dan bahwa istri dapat membantu suami atau anggota keluarga lain yang membutuhkan tanpa melanggar ketentuan hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa konsep mu’asyarah bil ma’ruf bersifat dinamis dan adaptif terhadap kondisi khusus yang dihadapi keluarga.
Studi komparatif Zulkarnain et al. (Zulkarnain, et al., 2024, p. 1185) mengenai pemenuhan nafaqah di Asia Tenggara mengungkapkan bahwa “pemberian dukungan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya” merupakan “hak dan kewajiban utama untuk keberlangsungan hidup”. Namun, kasus Youcai mendemonstrasikan bahwa pemenuhan kewajiban ini tidak selalu harus dalam bentuk finansial semata, tetapi dapat berupa pengorbanan waktu, tenaga, dan dedikasi penuh untuk kesejahteraan pasangan. Ketika seseorang menghadapi kondisi kesehatan yang kritis, prioritas nafaqah bergeser dari aspek material menuju kebutuhan perawatan intensif dan dukungan emosional.
Fenomena ini juga merefleksikan evolusi pemahaman tentang kesetaraan dalam hubungan suami-istri sebagaimana dikaji dalam research terbaru tentang “Kebersamaan dan persatuan antara suami istri dalam hubungan yang setara” (Attamimi, H.S., 2025). Penelitian tersebut menekankan pentingnya “distribusi hak dan kewajiban suami istri yang adil dan setara” yang tidak hanya mencakup aspek finansial tetapi juga komitmen emosional dan pengorbanan mutual dalam menghadapi tantangan hidup.
Dari perspektif maqashid syariah, tindakan Youcai sejalan dengan tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) dan keturunan (hifz al-nasl). Manchester Journal of Transnational Islamic Law & Practice (MJTILP, 2024, Vol. 20, Issue 3) menegaskan bahwa hukum Islam transnasional harus mampu menjawab tantangan kontemporer dengan tetap mempertahankan nilai-nilai fundamental. Pengorbanan karier demi perawatan pasangan yang sakit merepresentasikan prioritas nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan dengan semangat maqashid syariah.
Untuk mengoptimalkan implementasi mu’asyarah bil ma’ruf dalam konteks modern, diperlukan pendekatan yang mengintegrasikan pemahaman tradisional dengan realitas kontemporer. Keluarga Muslim perlu memahami bahwa konsep ini tidak terbatas pada peran gender konvensional, tetapi mencakup fleksibilitas dalam menghadapi situasi luar biasa seperti penyakit kritis. Edukasi hukum keluarga Islam yang komprehensif, konseling pra-nikah yang membahas skenario pengorbanan mutual, dan dukungan komunitas untuk keluarga yang menghadapi krisis kesehatan menjadi langkah konkret yang perlu diimplementasikan.
Fenomena viral pengorbanan suami ini mengingatkan kita bahwa mu’asyarah bil ma’ruf bukan sekedar konsep teoritis, tetapi prinsip hidup yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ketika cinta dan komitmen diuji melalui cobaan, di situlah makna sejati dari pergaulan yang ma’ruf dalam Islam termanifestasi. Melalui kasus ini, umat Islam diajak untuk merefleksikan kembali esensi pernikahan sebagai ibadah yang menuntut pengorbanan dan dedikasi tanpa batas untuk kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan.
Daftar Pustaka:
Attamimi, H.S. (2025). Togetherness and union between husband and wife in equal relationship in the thought of Azhary Imam Palembang in Hadiyah an-nisa manuscripts. Cogent Social Sciences, 11(1), 2508606.
Dzukroni, A.A., & An Noor, S.M. (2024). Rethinking Mu’âsyarah bil Ma’ruf: A Maqâshid Syari’ah Cum-Mubâdalah Approach. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman.
Manchester Journal of Transnational Islamic Law & Practice. (2024). MJTILP, 20(3). ISSN 2633-6626.
Nurdin, R., et al. (2021). Reconsidering Nafaqah of Family Resilience During The Covid-19 Pandemic in Islamic Legal Perspective. MIQOT, 45(1), 18-35.
Sameem, M.A., Rahmani, K.U.R., & Hilal, A.R. (2025). Nafaqah of a Wife in Islam: The Concept of Maintenance in Islamic Jurisprudence. Cognizance Journal of Multidisciplinary Studies, 5(4), 912-933.
Zulkarnain, et al. (2024). Fulfillment of Wife and Children’s Support: Comparison of Countries in Southeast Asia (Indonesia and Brunei Darussalam). al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 7(1), 1178-1197.
Leave a Reply